28 Juli 2007

Hidup Wadat dan Bersunyi-sunyi di Rawaseneng



KEDATANGAN ke Pertapaan Rawaseneng buat saya adalah wisata spiritual paling mengharu-biru. Tempat yang saya tuju bukanlah makam untuk berziarah dan berkhalwat. Pun tak ada cerukan gua, atau ruang khusus bersamadi dan bertapa meskipun tempat itu disebut sebagai pertapaan.
Keterharu-biruan itu barangkali karena saya menjumpai orang-orang, tepatnya para lelaki yang begitu teguh menggenggam keyakinan mereka hingga begitu rela hidup bersunyi-sunyi, hidup wadat atau selibat (tak menikah-red) dan bersahabat kesepian. Para lelaki yang hidup untuk Tuhan dalam untaian doa, dalam lantunan madah dan mazmur.
Mereka itu para lelaki yang asyik-masyuk mengagungkan nama Tuhan dalam sebuah kapel yang hening dan tak henti-henti mendengungkan gregorian ke langit Rawaseneng, Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung yang sejuk, sesekali berkabut. Ya, puja-puji itu seolah-olah mampu menembus dinding beku kapel, bersipongan dengan kertap dedaunan kopi, lenguh sapi peternakan, menjauh dan menyelubungi pepohonan pinus di sekitar situ.
Sebelum datang, saya pun membayangkan sebuah pertapaan dalam sebuah gua yang dipenuhi ornamen gerejawi seperti Yesus Kristus dalam salib, patung Bunda Maria, dan palung semen tempat air suci. Ketika mencoba mencari tahu pada sopir yang saya carter dari Sumowono, Ambarawa, dia tak apa-apa.
''Rawaseneng yang untuk mancing itu?'' tanya dia. Ketika saya katakan tempat itu sebuah biara, dia menangkapnya sebagai vihara (tempat ibadah Buddha) yang memang terdapat di pinggir lintasan laju mobil kami. Syukurlah, setidaknya dia tahu jalur menuju desa Rawaseneng. Jalan yang penuh kelokan dengan kanan-kiri penuh tanaman jagung dan jahe. Kata dia, di sepanjang lintasan itu, kedua tanaman itu memang mata pencaharian penduduk.
Setelah melewati jalanan yang kanan-kirinya penuh pohon pinus, pada sebuah pertigaan tempat pemberangkatan Angkutan Pedesaan (angkudes) jurusan Temanggung-Rawaseneng, kami berhenti. Oh ya, angkudes itu juga alat transportasi dari terminal Temanggung ke lokasi wisata spiritual tersebut. Jarak tempuhnya sekitar 14 kilometer.
***
SAYA tiba di pertapaan berordo Trappist itu tepat pukul 12.00 lewat beberapa menit. Itu bukan saat yang tepat bagi sebuah visitasi atau rekoleksi (kunjungan sesaat). Itu saat para rahib melakukan Ibadat Siang II di kapel. Tak ada seorang pun saya jumpai. Dari luar saya mendengar dengungan madah dan mazmur dari dalam kapel. Seorang lelaki muncul dan menuju ruang penerimaan tamu. Saya katakan pada Suyatno, nama lelaki itu, ingin menemui Kepala Biara. ''Oh, Abas Kepala, Pater Frans sedang berdoa. Ini jam Ibadat Siang. Tunggulah!''
Abas yang disebutkan maksudnya Kepala Biara. Namanya Frans Harjawiyata OCSO. gelaran itu merujuk pada ordo Katholik yang dipegang di biara itu, yaitu Ordo Cisterciensis Strictoris Observantiae (Ordo Cistersiensi Observansi Ketat) yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Ordo Trappist.
Sembari menunggu para rahib usai berdoa di kapel, saya bertanya padanya catatan atau buku mengenai sejarah Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Dia mengunjukkan sebuah buku dari deretan buku rohani di etalase. Karena itu dijual, saya membelinya. Judulnya ''Berziarah Setengah Abad'' tulisan Pater Frans. Itu buku peringatan 50 tahun (1953-2003) biara tersebut.
Isinya lengkap mengenai perjalanan panjang pertapaan itu. Suyatno juga memberikan sebuah buku tipis berjudul ''Rawaseneng: The Call to the Trappist Life''. Dari buku tipis itu, saya tahu secara singkat perihal pendirian Pertapaan Rawaseneng, sejarah Ordo Trappist beserta catatan mengenai Santo Benediktus yang memelopori ordo tersebut, serta perikehidupan para rahib di situ.
Sebelum menjadi biara, tulis buku itu, di situ berdiri sekolah pertanian asuhan Bruder Budi Mulia. Clash fisik tentara Republik dengan Belanda pada tahun 1948, menghancurleburkan bangunan itu. Tahun 1950, Pater Bavo van der Ham, rahib Trappist dari Tilburg, Belanda datang ke situ dan memelopori pendirian biara berordo Trappist di situ. Tanggal 1 April 1953, resmi berdiri biara dengan nama Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng yang lalu lebih terkenal dengan sebutan pertapaan Rawaseneng.
Seiring waktu, biara itu mulai diminati dan banyak yang bergabung sebagai rahib. Alhasil, 26 Desember 1958, biara itu menjadi otonom dengan status keprioran. 23 April 1978 statusnya meningkat lagi menjadi keabasan. Sejak itu pulalah Pater Frans diangkat menjadi Abas.
Perkembangan berikutnya, biara Rawaseneng mendirikan biara serupa di Flores tahun 1996 setelah sebelumnya mendirikan biara Trappistin (untuk biarawati) di Gedono, Salatiga tahun 1987.

***

USAI Ibadat Siang, Pater Frans menemui saya di Kamar Bicara. Kalau lihat jadwal semestinya saat itu waktu istirahat dia dan para rahib. ''Tak apa-apa. Ini kan juga bagian kerja pastoral (kegiatan pelayanan-Red),'' katanya.
Dia ramah. Usianya 72 tahun dan sudah 43 tahun mendiami Pertapaan Rawaseneng. Tak begitu lama perbincangan kami. Secara singkat dia menjelaskan rutinitas kehidupan para rahib di situ seperti yang saya tanyakan.
''Berdoa dan bekerja. Anda bisa lihat pada jadwal sehari-hari para rahib. Semua serbaterjadwal. Makanya, dengan keketatan hidup serupa itu, banyak yang tak kuat. Perbandingan yang kuat dan tak kuat hidup di biara biasa 20-80.''
Itu mencengangkan. ''Tapi kami bukan komunitas ekslusif, lho. Kami juga berbaur dengan masyarakat. Tapi dalam arti untuk urusan-urusan sosial belaka. Kami ini membuka peternakan dan pemerahan susu sapi dan perkebunan kopi. Penduduk membeli dari kami dan rata-rata yang bekerja juga mereka. Itu wujud sosialisasi.''
Saya tanyakan pula perihal citra ordo Trappist yang terkenal keras, seperti misalnya berdoa sambil menyakiti diri-sendiri. ''Ah, itu mitos. Keras dalam arti hidup dalam biara, terjadwal, tak bebas ke mana-mana, ya. Tapi itu pilihan menjadi rahib, bukan? Wajar pula memang banyak yang tak kuat.''
Usai perbincangan singkat, saya meminta izin untuk berkeliling biara: melihat sapi-sapi yang diternakkan, perkebunan kopi, atau pembuatan kue yang jadi aktivitas sehari-hari para rahib selain berdoa.
''Sayangnya ini jam istirahat. Nantilah seusai Ibadat Sore. Mungkin Frater Theo bisa memandu Anda.''
Saya memang harus patuh pula pada jadwal ketat di biara itu. Ibadat Sore baru dimulai pukul 14.30. Syukurlah, pada ibadat itu saya diizinkan masuk ke ruang kapel dan memotret aktivitas para rahib.
Pukul 14.15, lonceng di dalam kapel dibunyikan oleh seorang frater (sebutan untuk rahib). Saya masuk ke kapel. saat itu petugas pembunyi lonceng Frater Amadeus. Dia masih berstatus novis (tahapan hidup membiara usai menjalani masa postulat atau percobaan).
Tak beberapa lama para ''frater'' berdatangan dan segera menempati kabin doa masing-masing yang berada dalam dua sayap kapel. Agak terpisah dari pada sisi kanan altar, seorang frater yang bertugas memainkan piano sudah berada di tempatnya. Beberapa tamu yang datang untuk retret (menginap dan beraktivitas di situ minimal tiga hari-Red) atau yang hanya melakukan rekoleksi, masuk kapel dan menempati bangku terpisah di belakang kapel. Mereka akan ikut berdoa. Soal tamu, Pertapaan Rawaseneng memang telah cukup mengharu-biru mereka untuk sekadar mampir atau bahkan tinggal berhari-hari di situ. Tak jarang, yang datang berupa rombongan keluarga, lengkap dengan anak-anak mereka.
Maka, di kapel itu segera mendengunglah koor madah puji-pujian. Syahdu, kadangkala senyap. Adakalanya seseorang melantunkan doa sendiri dan dibalas oleh gaung doa bersama. Setengah jam doa dalam Madah Zakaria, Madah Simeon, disusul Te Deum dan berakhir usai Antheum Maria. Semuanya dilantunkan dalam nada gregorian yang syahdu dan seolah-olah selalu penuh kesedihan.
Begitu selesai, para rahib itu segera memasuki kamar mereka masing-masing. Saat itu, saya berpikir betapa hidup mereka seolah-olah terbingkai pada satu kamar sempit yang menjadi tempat pertapaan, ruang kapel dan ruang tempat mereka berkarya. Dari hari ke hari, bertahun-tahun, bahkan ada yang menjalaninya selama lebih dari 30 tahun. Hidup yang mau tak mau membuat saya seolah-olah tak mengerti tapi di sisi sebaliknya saya mengagumi keteguhan mereka.
Usai aktivitas di kapel, Frater Theodorus menjumpai saya dan berkehendak memandu saya berkeliling biara. Saya terkejut dan agak pangling. Di kapel tadi dia bersama para rahib memakai jubah putih dengan skapulir hitam, khas para rahib Katholik. Saat itu dia mengenakan baju yang mirip jaket dengan kap (topi kain yang bersambungan dengan baju). Apalagi dia mengenakan kacamata hitam. Kalau tak melihat ciri kap pada pakaian yang dikenakannya, dia tak lebih seperti lelaki muda di luar biara.
''Lho boleh berbaju bebas toh, Frater?'' tanya saya. Dia tersenyum dan sembari menyetarter sepeda motor dan memboncengkan saya, dia menjawab, ''Oh boleh, tapi tetap dengan ciri kap ini.''
Kami menuju tempat penimbangan kopi yang baru dipanen dariperkebunan milik biara. Kata Pater Frans, kopi biasanya hanya sekali panen setahun. Di tempat itu, banyak aktivitas: menimbang kopi, mengeruk kopi dan membawa ke tempat pencucian, membersihkan kopi yang bergetah sebelum memasukkannya ke mesin penggiling.
Dari situ kami menuju tempat pembuatan kue. ''Itu oven kami. Besar. Pembuatan kue ini salah satu aktivitas para frater dipagi dan sore hari,'' ujar Frater Theo.
Seseorang sedang mengepak kue. Kue-kue itu ditaruh di etalase dan tamu atau penduduk biasanya membeli dari situ. ''Anda coba bikinan kami. Enak, lo.''
Saya mencoba kue yang disodorkannya. Biskuit coklat yang enak. lalu kami menuju peternakan. Ada lebih dari 100 sapi dimiliki biara. Setiap hari, sekitar 60-70 ekor diperas susunya.
''Penduduk membeli dari kami. Tapi banyak yang kami distribusikan hingga ke Semarang.''
Susu di situ katanya memang lain. Paling tidak itu menurut Pak Adrianto dari Klaten yang secara berkala menyengaja ulang-alik hanya untuk beli susu di situ.
Senja sudah mulai bergerak turun ketika saya ikut mobil Pak Adrianto menuju Secang lewat Temanggung. Di dalam mobil, lelaki tua itu berkata, ''Hebat ya para frater yang rela memilih hidup di situ. Padahal banyak yang muda, lo.''
Ketika itu benak saya terbayang Frater Theo yang sudah 14 tahun di situ dan baru berusia 34 tahun. Satu orang lagi yang sempat saya tahu namanya, Frater Amadeus, juga masih muda.
Saya menyambung, ''Hebatnya lagi mereka mau hidup wadat (tak menikah).''
Pak Adrianto tertawa dan berkata, ''Kalau saya semuda mereka, wah sulit kalau meninggalkan yang satu itu. Tapi sudah pilihan mereka, kok.''
Ya! Sudah pilihan mereka. Itu juga perkataan Frater Theo ketika memandu saya, ''Manusia itu makhluk dengan rasio. Binatang tak punya. Kalau binatang terdesak kebutuhan biologis, mereka langsung saja tanpa berpikir. Tapi manusia mampu mengendalikan kebutuhan biologisnya dengan pikirannya.''
Saya tahu itu pilihannya, juga para frater lainnya. Hidup wadat, bersunyi-sunyi, amboi....(*)





Sehari dalam Kehidupan Para Rahib




MENJADI rahib adalah pilihan seseorang. Menjadi rahib juga dimaknakan sebagai panggilan Tuhan untuk melulu hidup demi Dia dalam kesunyian. Panggilan hidup dalam rupa doa. Ya! Kesunyian dan doa, juga kehidupan wadat atau selibat.
Serupa itu pula kehidupan para rahib Ordo Trappist di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Menurut Pater Frans, ada sekitar 30 orang. Tambahan dari Frater Theodorus, dari jumlah itu masih ada yang berstatus postulat dan novis.
''Cirinya pada jubah yang dikenakan. Frater juga Pater memakai jubah putih berskapulir hitam. Novis jubah putih dengan kap. Postulat serupa novis hanya saja ada sejenis pakaian diagonal di atas dadanya berwarna putih.''
Dia lalu menunjukkan gambar Santo Benediktus yang berjubah hitam-tebal. ''Walau yang kami acu orang suci itu, baik ajaran maupun cara berpakaiannya, tetapi bahan dan warnanya boleh berbeda.''
Di kalangan para rahib pada Pertapaan Rawaseneng, hidup bukanlah sesuatu yang sederhana dan waktu tak bisa untuk bermain-main. Kehidupan mereka terjadwal secara ketat. Porsi untuk berdoa pun sangat besar. Lihat misalnya, bagaimana dalam satu putaran hari, ada tujuh kali ibadah dilangsungkan. Bayangkan, sehari dengan tujuh kali berdoa dalam cara yang sama! Dan itu berlangsung setiap hari.
Hidup para rahib bermula pada pukul 03.15. Mereka bangun dari tidur secara serentak dipandu oleh lonceng yang berbunyi dari dalam kapel. Seperempat jam berikutnya, para rahib itu sudah suntuk dalam doa pada Ibadat Bacaan (vigil) disambung dengan meditasi di dalam kapel.
Mulai pukul 04.45, para rahib membaca buku-buku rohani. Program rutinnya disebut Lectio Divina.
''Kalau dulu para rahib hanya baca kitab suci, kini bacaan itu lebih banyak lagi. Sekarang kan banyak buku rohani yang bagus,'' ujar Frater Theodorus.
Usai aktivitas itu, ada Ibadat Pagi pada pukul 06.00 yang dilanjutkan dengan sarapan pagi, dan waktu senggang sejenak. Waktu senggang tersebut dapat dimanfaatkan oleh rahib untuk melakukan keperluan pribadi, sebatas masih dalam kompleks biara.
Pukul 08.00, para rahib masih harus kembali ke kapel untuk Ibadat Siang I. Hanya 15 menit doa itu dan dilanjutkan waktu bagi mereka untuk bekerja yang berakhir pukul 11.30. Usai kerja itu, para rahib bersiap-siap untuk melakukan Ibadat Siang II pada pukul 12.00. Hanya seperempat jam ditambah lima menit pemeriksaan batin (semacam meditasi singkat) sebelum mereka bersama-sama menuju Ruang Makan dan makan siang bersama dan istirahat siang.
Pada saat istirahat itu, para rahib melakukan siesta atau tidur siang yang berakhir ketika lonceng dibunyikan seorang frater pada pukul 14.15 sebagai persiapan Ibadat Sore (vesper) selama setengah jam (14.30-15.00). Setelah itu, para rahib kembali bekerja hingga pukul 16.30 disambung Lectio Divina pukul 16.45.
Perayaan Ekaristi (Holy Mass) atau Misa Agung harian dilangsungkan pukul 17.30 hingga 19.50 dengan pembacaan Peraturan Santo Benediktus di Ruang Kapitel. Peraturan tersebut bersifat wajib bagi semua ordo yang mengikuti jejak orang suci itu.
Seluruh aktivitas para rahib dalam sehari itu ditutup dengan Ibadat Penutup (compline) yang berakhir pukul 20.15. Setelah itu, para rahib masuk ke kamar masing-masing untuk tidur dan menyongsong aktivitas serupa di hari berikutnya.
Selalu berulang begitu setiap hari. Itu untuk hari-hari kerja biasa. Untuk hari Minggu atau Hari Raya, secara spesifik tak ada yang berubah, selain Pertemuan Komunitas atau bertemunya seluruh anggota biara seusai Ibadat Pagi.
Dan Anda bisa membayangkan suatu kehidupan yang bergulir dengan hal yang sama setiap harinya.
''Ini sudah jadi pilihan saya. Dan saya menjalaninya dengan bahagia,'' kata Frater Theodorus. Mungkin saja memang dia menyuarakan suara kawan-kawan sebiaranya. (*)
g Saroni Asikin
(Suara Merdeka, Jalan-jalan, Minggu 6 Agustus 2003)
Cerita dari Hutan Batu

BAYANGKANLAH sebuah hutan. Pepohonan lebat, hijau, dan liar. Selalu ada misteri terserak di dalamnya. Bayangkanlah andai di hutan tersebut kelebatan, keliaran, dan kemisteriusan itu bukannya tercipta dari deretan pepohonan, melainkan batu-batu. Ya, batu-batu karsit hasil endapan ratusan juta tahun di dasar laut. Maka yang terpacak di benak adalah sebuah hutan batu. Dan itu bisa Anda temukan di distrik Lunan Yu, 120 kilometer di tenggara dari pusat kota Kunming, provinsi Yunnan, China. Orang China menyebutnya Shi Lin. Kita boleh memadankannya dengan istilah Hutan Batu, dan bagi turis internasional, ia biasa disebut Stone Forest.
Stone Forest berisi tonggak-tonggak batu karsit besar yang menurut penelitian telah berusia 270 juta tahun. Batuan tersebut terbentuk oleh proses sedimentasi dasar laut. Dengan begitu, kita bisa membayangkan bahwa tanah Shilin atau Lunan Yu di Provinsi Yunnan China tersebut dulunya adalah lautan.
Berdasarkan prasasti yang ada di lokasi dengan tulisan dalam huruf China dan terjemahannya dalam bahasa Inggris, disebutkan bahwa pada tahun 1931, Gubernur Yunnan yang bernama Long Yun berkunjung ke tempat tersebut dan terperangah oleh kedahsyatan bebatuan yang ada. Lalu dia menuliskan dua karakter China yang berbunyi Shi Lin atau Hutan Batu. Selanjutnya, inskripsi hasil tulisan tangan sang gubernur dipahatkan di salah satu batu di Da Shi Lin, sekaligus memberi nama loka tersebut.
Selama bertahun-tahun, Stone Forest telah menjadi objek wisata tang tak pernah sepi pengunjung. Apalagi memang begitu banyak kemudahan untuk pergi ke lokawisata yang sangat terkenal tersebut. Di Kunming misalnya, begitu banyak biro travel yang menawarkan wisata ke tempat eksotis itu. Apalagi, begitu banyak orang asing melewatkan liburan musim panas di kota tersebut.
Jumat (24 Juni 2005), bersama saya dalam satu mobil yang disediakan biro travel Kunming Camellia Hotel, ada pasangan Clay dan Anna dari Australia, Alban Molle dari Prancis, James Wangzhu dari Singapura, dan Chang Faiyuk orang Kanada keturunan China. Iini mirip perwisataan pelbagai bangsa. Jadinya perjalanan terasa mengasyikkan karena kami bisa saling berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Paling tidak, saya tak perlu merasa tengah mendengarkan sinetron Mandarin tanpa pernah tahu maknanya seperti telah beberapa hari saya alami ketika berada di dalam alat transportasi umum. Sekadar catatan, orang China terkenal suka mengobrol di bus atau kereta dengan langgam bahasa mereka yang cepat.
Dalam perjalanan, ketika saling mengobrol, tema kedahsyatan Stone Forest sudah bergaung. Meskipun kami baru mereka-reka berdasarkan informasi yang kami dengar atau baca, seolah-olah kami akan menuju ke suatu tempat yang menakjubkan di dunia. Ya, mobil berjalan melalui banyak Express Way atau jalan bebas hambatan sebelum memasuki areal pedesaan dan pebukitan Yunnan yang terkenal alamiah tersebut. Di kanan kiri kami, terbentang ladang-ladang sayuran dan bebuahan. Untuk orang dari Indonesia yang tak pernah melihat tanaman persik dan plum, pedesaan Yunnan memberi tambahan pengetahuan. Apalagi, di musim panas itu, kedua tanaman itu sedang berbuah.
Sekitar 4 kilometer sebelum lokasi Stone Forest, kami telah melihat bukit-bukit yang penuh dengan tonggak-tonggak batu. Dari kejauhan, lanskap tersebut lebih mirip pepuingan candi di areal yang sangat luas. Awal kekaguman kami sudah bermula dari situ. Sopir kami, orang China, yang bereaksi terhadap keheranan kami, mengucapkan kata-kata dalam Mandarin. James yang bisa berbahasa Mandarin menerjemahkannya untuk kami. Katanya, itu belum seberapa, karena luas areal Shi Lin atau Stone Forest sekitar 300 kilometer persegi. Alamak! Dan untuk wisata satu hari, paling-paling kami hanya bisa mengunjungi Daxiao Shi Lin (Hutan Batu yang besar dan kecil) saja.
Dari literatur yang saya baca, Stone Forest memiliki 7 titik lanskap. Enam lainnya adalah Naigu Shi Lin (Batu Hutan Hitam), Daxiao Zhiyun Dong (Gua Batu Zhiyun Besar dan Kecil), Chang Hu (Danau Persegi), Yue Hu (Danau Bulan), Qifeng Dong (Gua Batu Angin Keras), dan Da Dieshin (Air Terjun Besar).
Dan meskipun Anda hanya punya kesempatan mengunjungi Daxiao Shi Lin, tak perlu terlalu kecewa. Sebab, titik lanskapnya sendiri terbagi dalam banyak bagian yang menarik. Yakni, Shi Lin Hu (Danau Hutan Batu Besar) Da Shi Lin yang juga dinamakan Lizi Qing (Lembah Tanaman Plum), Xiao Shi Lin (Hutan Batu Kecil), Lizi Yuan (Perkebunan Plum), Shizi Ting (Paviliun Singa), Jiangfeng Chi (Kolam Ujung Pedang), Wangfeng Ting (Paviliun Menara Pandang), dan Lianhua Feng (Puncak Bunga Padma).
***
SAMPAILAH kami di lokasi. Di loket masuk, kami harus membayar tiket seharga 80 RMB Yuan (sekitar Rp 96 ribu). Pelajar atau mahasiswa boleh membayar 50 RMB Yuan dengan menunjukkan kartu pelajar. Sekadar catatan, banyak tempat khususnya museum di China menggratiskan tiket untuk mereka. Si Prancis Alban rupanya ingin mendapat keistimewaan itu. Saya melihat dia menyodorkan Carte d'Identité (KTP Prancis) miliknya sembari menyerahkan 50 RMB Yuan. Petugas di loket tak terlalu memeriksa dan menyerahkan tiket dengan harga tersebut. Saya bilang padanya, ''Tu es intelligent d'économiser ton argent, hein?'' (Cerdik betul kau mengirit uangmu, ya?) Alban hanya tertawa.
Beberapa pemandu yang kebanyakan gadis-gadis suku Sani dalam pakaian khas kaum Yi merubungi kami untuk menawarkan jasa. Kebanyakan dari mereka hanya tahu bahasa Mandarin dalam dialek setempat. Selain untuk James, tentu saja itu tak akan berarti buat kami. Akhirnya seorang pemandu yang mengaku bernama Inggris Lina (nama aslinya Ge Zhu Qing) mendatangi kami sembari meyakinkan bahwa hanya dia seorang di antara banyak pemandu di situ yang bisa berbahasa Inggris. Cukup murah harga yang ditawarkan. Hanya 80 RMB Yuan.
Maka, kami mulai berjalan. Dan agaknya, Stone Forest memang mirip butir-butir gula yang selalu dikerubut semut. Begitu banyak orang di situ: pewisata dari berbagai bangsa, juga orang China, para pedagang, pemandu, atau sopir angkutan khusus wisata di situ yang harganya 200 RMB Yuan untuk sekitar dua jam.
Situs pertama yang kami kunjungi adalah areal Da Shi Lin (Hutan Batu Besar). Lina dengan kefasihan Inggrisnya tak henti-hentinya memberi penjelasan. Di situs tersebut, berjubel orang mengagumi pilar-pilar batu besar yang seolah-olah menantang langit yang ketika itu bermatahari sangat menyengat. Para pengujung sibuk memotret, memegangi kekerasan batu-batu karsit tersebut. Banyak pula yang menyewa kostum Yi untuk sekadar berpose dengan latar belakang tonggak-tongak batu. Apalagi biayanya hanya 10 RMB Yuan sekali pakai.
Ya, berhenti di situs tersebut, saya membayangkan sebuah lanskap yang tak ubahnya sebuah hutan majal penuh pokok pepohonan besar yang terpotong-potong tanpa dedaunan. Hanya saja, pokok-pokok itu bukan kayu melainkan batu-batu karsit yang berusia ratusan juta tahun. Alangkah dahsyatnya! Dan itu baru awal perwisataan. Sebab, selanjutnya kami tak henti-henti dianugerahi gelimang keagungan alam yang memuaskan pandang.
Dari Da Shi Lin kami meniti trap-trap yang melingkar-lingkar, menanjak dan menurun, berjalan satu demi satu memasuki celah-celah sempit di antara tongak-tongak batu. Sampai di ujung menara pandang, kami harus berjalan begitu berjejalan saking banyaknya pengunjung. Dari atas menara tersebut, keluasan lanskap (paling tidak di areal Daxiao Shi Lin) terpampang dari berbagai sudut. Geremengan dalam pelbagai bahasa terdengar seperti bunyi ribuan lebah di situ. Dan hampir semuanya menguarkan kekaguman.
Masih banyak bagian yang harus kami kunjungi. Kami memang telah mulai merasa lelah. Tapi panduan Lina yang hampir selalu berbicara dalam nada riang sepanjang perjalanan, kesejukan udara di situ, serta keingintahuan kami untuk mengetahui lebih banyak lagi cukup membuat semangat kami tetap menyala.

***
DI Stone Forest, sepanjang menyusuri setiap celah batu, berhenti sesaat kreasi alam, pengunjung juga bakal disuguhi cerita di balik kemisteriusan bentuk bebatuannya. Menarik benar menyusuri setiap cerita yang seolah-olah terdedah dari bentuk sebuah batu. Apalagi pihak pengelola lokawisata membagi Stone Forest ke dalam bagian-bagian yang dibingkai dalam sebuah sekuel cerita.
Maka jangan heran, pada sebuah persimpangan trap, Anda akan menjumpai sebuah tengara batu yang menunjukkan arah ke suatu bagian dengan nama unik. Keunikan nama-nama tersebut merujuk pada bentuk batu yang diandalkan. Memang secara umum, penamaannya lebih banyak berasal dari penglihatan pada bentuk batu yang ‘’seolah-olah’’ mirip suatu bentuk. Beberapa nama yang telah saya sebutkan di bagian sebelumnya, sudah memberi bukti betapa uniknya penamaan bagian-bagian situs di Daxiao Shi Lin.
Beberapa diberi nama tanaman atau binatang. Sekali lagi, nama diberikan atas alasan kemiripan dengan rujukan benda nyatanya. Ambil contoh, batu yang diberi nama Dua Babi Bertarung, kalau dicermati puncak batunya memang sangat mirip dua kepala babi yang tengah mengadu moncong. Atau batu yang disebut Anggrek di Lembah Curam memang berada di bagian Stone Forest yang curam. Bentuk yang mirip bunga tersebut hanya bisa diamati dari sebuah puncak tangga bertrap. Begitu pula batu yang mirip burung merak, pohon cedar, kura-kura.
Saat Lina menjelaskan bentuk-bentuk batu tersebut, saya teringat Gua Akbar di Tuban. Di tempat yang disebut terakhir, memang banyak stalaktit dan stalagmit yang mirip bentuk binatang tertentu.
Di luar itu semua, cerita di balik batu semakin memesona ketika kita berhadapan misalnya dengan batu yang diberi nama Ibu dan Anak Tengah Berjalan-jalan. Bentuknya berupa dua tonggak batu besar yang kalau dipandang dari kejauhan memang mirip ibu yang tengah menggamit anaknya.
Apalagi Lina yang memandu kami cukup humoris orangnya. Ketika menjelaskan bentuk batu tersebut, dengan tertawa dia menunjuk beberapa batu lagi dan mengatakan, ‘’Itu suami si ibu. Kalau yang itu paman si anak, dan yang satunya sang kakek.’’
Boleh jadi Lina tak hanya tengah membanyol atau menyenangkan kami yang tengah dipandunya. Ketika sampai di batu yang disebut Perempuan yang Menunggu Suaminya, dia terlihat serius ketika memberi penjelasan. ‘’Anda lihat, dia seperti sangat bersedih dan penuh kepasrahan. Anda lihat bagian kepalanya? Itu sangat mirip dengan penutup kepala yang orang Sani pakai seperti saya. Dan bagi kami orang Sani di sini, batu-batu itu selalu menyimpan legenda dan membuat kaya budaya kami. Kami punya banyak cerita dari batu-batu itu.’’
Dia menyebut sebuah legenda orang Sani mengenai terjunnya seorang lelaki ke dalam api akibat cintanya tak bertaut dengan seorang gadis. ‘’Anda tadi melihat batu Puncak Api. Kami memercayai dari batu itulah legenda dilahirkan.’’
Aha, ketika itu saya teringat kisah kasih incest Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang lalu memunculkan legenda Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Sebuah legenda yang lahir dengan merujuk pada bentuk puncak gunung yang mirip perahu terbalik. Tapi memang, setiap tempat selalu menyimpan legendanya sendiri dan itu memperkaya khasanah budaya yang berada di lingkungannya. Dan diakui atau tidak, legenda-legenda tersebut sering kali membuat tempat yang sedahsyat Stone Forest menjadi sangat bermakna.
g Saroni Asikin
(Suara Merdeka, Jalan-jalan Juli 2005)

Film ''Berbagi Suami''

Halus tapi Menyengat

HAI para istri, ingin membagi suami Kalau ya, jangan tonton film Berbagi Suami karya dan sutradara Nia diNata yang diproduksi Kalyana Shira Film (rilis pertama 23 Maret lalu). Anda mengurungkan keinginan itu. Sebab, lewat film itu Nia begitu ''kejam'' menghujat perempuan dan laki-laki yang terlibat poligami.
Dia memang tak mengeluarkan umpatan penghujatan yang kasar. Bahkan, bahasa sinematografisnya cenderung mirip prosa liris. Sebagai penulis skenario, dia cukup jenius mengembangkan alur cerita yang sangat sederhana, banal, lurus tanpa liukan yang menjebak kerumitan penceritaan, sangat sehari-hari, dan asyik disimak. Apalagi dia merekatkan tiga cerita yang sebenarnya berbeda setting dan tokoh menjadi satu jalinan cukup rapi. Tokoh-tokoh itu bisa saling bertemu pada suatu situasi tanpa kesan sengaja dipertemukan.
Jadi, penonton tak perlu mengerutkan dahi mereka-reka hubungan antartokoh dan tetap merasa berada di dalam satu cerita. Untuk tema sekontroversial poligami, pengembangan cerita serupa itu menunjukkan kecerdasan tertentu seorang penulis skrip film. Nia tak memberi ribuan dalil dan konsep perpoligamian. Dia hanya bercerita tentang tiga perempuan dari kelas sosial dan suku berbeda, tetapi mengalami nasib serupa: terlibat poligami dan (selalu) hanya jadi sang korban ''kuasa'' lelaki.
Ketiga perempuan itu, Salma (Jajang C Noer), Siti (Shanty), dan Ming (Dominique A Diyose) memang menjadi fokus pengisahan. Salma, dokter kandungan yang telah hidup mapan pada suatu ketika harus menghadapi kenyataan bahwa Pak Haji (El Manik), suaminya telah punya istri lain bernama Indri (Nungky Kusumastuti). 10 tahun berlalu dan Salma belum sepenuhnya bisa berkompromi dengan poligami itu, muncul tokoh Ima (Atiqah Hasiolan), madunya yang kedua. Ketika dirinya merasa telah bisa menerima ''takdir'' itu, datang perempuan berikutnya (Laudya Cynthia Bella) di pusara pada saat pemakaman Pak Haji.
Siti, gadis Jawa polos, terpaksa melupakan cita-citanya karena Pak Lik (Lukman Sardi) mengawininya sebagai istri ketiga. Berbeda dengan Pak Haji, dua istri Pak Lik, Sri (Ria Irawan) dan Dwi (Rieke Diah Pitaloka) tak hanya merestui, keduanya malah memaksa Siti untuk menganggukkan kepala. Kedatangan Santi (Janna Karina S), istri keempat Pak Lik dari Aceh pun tanpa penolakan. Kisah lesbian Dwi dan Siti pada akhirnya membuat keduanya lari dari Pak Lik. Ming, gadis keturunan Tionghoa, selama beberapa waktu harus merahasiakan bahwa dirinya adalah istri muda Koh Abun (Tio Pakusadewo) dari Cik Linda (Ira Maya Sopha), sang istri tua. Padahal, hampir setiap hari mereka bersama, baik ke pasar atau di restoran bebek milik sang engkoh. Ketika terketahui, penolakan hebat pada status Ming muncul dari Cik Linda dan dua anak perempuannya. Ming akhirnya sendiri lagi ketika keluarga Koh Abun ke Amerika.
Seperti telah disebutkan, tuturan ceritanya begitu sederhana dan lurus. Memang ada suspens-suspens. Tapi agaknya dalam film itu, untuk sebuah kejutan, Nia lebih menyukai teknik pengambilan bersahaja tanpa snapshot berlebihan atau teknik zoom in. Contohnya, kemunculan sosok Ima sebagai istri ketiga Pak Haji hanya ditampilkan dengan gambar seorang perempuan muda berkacamata yang tercenung sedih di lobi ruang ICU tempat Pak Haji dirawat.

***
TAPI tuturan sederhana akan menjadi kisah yang kurang darah tanpa pengekplorasian gejolak psikologis, khususnya pada tokoh perempuan yang sedang bercerita. Nah, untuk itu, Nia memakai sudut pandang pengisahan ''keakuan'' (dengan teknik voice off atau VO) dari Salma, Siti, dan Ming. Sayangnya, menurut saya, teknik tersebut menjadi poin terlemah film Berbagi Suami, khususnya karena artikulasi yang agak cacat. Jajang yang bersuara serak dan cenderung cedal, Shanty yang aksen Jawanya dimedhok-medhok-kan, atau Ming yang suara kekanakannya sering kehilangan tonalitas artikulatifnya sedikit mengganggu penonton dalam menyimak kisah. Pada banyak adegan, VO itu seperti ''lenyap'' ditelan gambar yang tersaji. Untungnya, cacat kecil itu tertutupi banalitas dialog dan ekspresivitas akting para tokoh. Untuk soal itu, paling kuat fragmen Siti di mana dialog-dialog yang renyah terjadi di antara ketiga istri Pak Lik. Meskipun pada beberapa bagian, vokal Rieke sering terasa cempreng seperti suara ''Oneng'' pada sinetron Bajaj Bajuri. Namun, kepiawaian akting dan artikulasi mantap Ria Irawan patut diacungi jempol.
Irama adegan yang bagus dengan tempo cepat ikut menunjang hidupnya fragmen tersebut. Kalau harus diperbandingkan, beberapa bagian adegan pada fragmen Salma jadi terasa sangat lambat dan agak membosankan. Karena itu, mungkin akan lebih menarik bila fragmen Siti ditempatkan pada kisah pertama sebelum fragmen Salma sehingga awalan filmnya bakal mematri ketertarikan penonton. Pada fragmen Ming, kepiawaian berakting Tio Pakusadewo yang berperan sebagai orang Tionghoa jadi titik kuat. Ira Maya Sopha juga cukup ciamik berperan sebagai perempuan nyinyir. Sedikit kelemahan Dominique, khususnya pada tonalitas artikulasinya jadi tertutupi.
Editing yang digarap Yoga K Koesprapto juga patut diberi kredit bagus. Sentuhannya membuat film garapan Nia tidak monoton dan berirama liris. Patut diapresiasi pula kostum pemain yang didesain Tania Soeprapto. Ambil contoh, pakaian para istri Pak Lik yang beraksen sangat kuat dari sisi eksotika kaum urban di kota semetropolis Jakarta.
***
DI luar itu semua, kalau diringkas Berbagi Suami adalah kisah pergolakan batin tiga perempuan yang terlibat dalam poligami. Sebagai penulis skenario, Nia terlihat begitu antusias ''memakai'' ketiganya sebagai penyambung konsepsinya mengenai kecenderungan suami berbanyak istri. Jadi, kalau ditilik secara ekstrem, para suami seperti itulah sasaran bidiknya. Ada kecenderungan besar bahwa apapun alasannya, Nia tetap tidak setuju dengan cara Pak Haji, Pak Lik, dan Koh Abun.
Tapi sekali lagi, dia tak asal menghakimi. Dia masih memberi muatan bagus pada Pak Haji yang menyarankan Nadim (Winky Wiryawan), satu-satunya anak dari Salma agar dia hanya beristri seorang saja. Koh Abun pun digambarkan sebagai sosok yang sangat mencintai Ming dengan tulus dan tak ingin menjadikannya semata gundik. Hanya saja, pada Pak Lik, Nia seperti sangat kejam. Itu pun masih dengan ungkapan halus. Satu contoh, dialog batin yang diucapkan Siti: ''Pak Lik bagaikan sultan keraton dengan selir-selirnya. Dia tidak sadar virus penyakit kotor sudah menggerogoti kami semua.''
Halus tapi menyengat.
Jadi, tak ada sesuatu yang baguskah pada poligami? Film Nia menjawab, ''nothing but chaos''. Padahal, sebagai seorang suami, kalau boleh berangan-angan, saya ingin menjadi Pak Lik dengan istri-istri yang rukun serumah, tapi dengan kualitas lain. Dia tak otoriter, setulus Koh Abun, dan sekaya Pak Haji.
Karena itu, wahai para istri, kalau tak ada keinginan membagi suami dengan perempuan lain, tonton film itu, simak betul-betul, pastilah Nia diNata ada di pihak Anda.

g Saroni Asikin
(Suara Merdeka-Minggu, 26 Maret 2006)

24 Juli 2007

Tinta Abu-abu Perdamaian

SIAPA tak ingin perdamaian? Siapa pula ingin terus hidup dalam pertikaian tanpa ujung? Maka ketika tahu Kresna pergi ke Hastinapura sebagai duta Pandawa, orang-orang berkerumun di tepi jalan mendengungkan madah dan menaburkan bebungaan. Mereka sangat mengharapkan Raja Dwarawati itu mampu menjadi juru damai dalam konflik panjang anak turun Bharata.
Semua orang menunggu keberhasilan sang Kresna sebagai juru damai. Bahkan sebuah tembang kinanti menggambarkan antusiasme itu, meskipun dengan agak konyol.
Para dyah akeh kesusu
gelung wudar tan tinolih
miwah kekembene lukar
nora sedya den rawati
pembayun sinangga ngasta
kayungyun kesa ngatitih.
Lihat, betapa para gadis tak sempat menggelung rambut atau membetulkan busana yang acakadut hanya demi mangayubagya sang juru damai.
Namun, bahkan dalam histeria konyol itu, Kresna tak bisa melepas seguris senyuman. Sebab, dia sadar benar, kedatangannya menghadap Duryudana bukan sekadar untuk menuntut hak Amarta atas Pandawa. Dia membawa keinginan banyak orang agar pertikaian panjang Pandawa-Kurawa segera berakhir.
Dia tahu pasti, mission sacre (tugas suci) itu bisa saja hanya sebuah mission impossible (misi muskil). Dan kita tahu, lakon Kresna Duta tak berakhir dengan sebuah kesepakatan. Karena, telinga Duryudana seolah-olah dipenuhi suara kerakusan Sangkuni, Jayajatra, atau Burisrawa. Telinganya tuli oleh suara perdamaian dari Bhisma, Durna, Widura, Kripa, dan bahkan dari sang ayah, Destarastra.
"Sudahlah, anak-anakku, tolong kalian jangan kelewat rakus. Punya separo negeri cukuplah sudah dan kita bisa hidup penuh perdamaian," teriak Destarastra yang buta.
Namun telinga Duryudana telah begitu pekak untuk bisa mendengar teriakan orang tua itu. Alih-alih sebuah kesepakatan damai, akhir cerita ''Udyogaparwa'' dalam Mahabharata itu seolah-olah malah menjadi picu bagi konflik baru yang lebih besar. Gaung perang Bharatayuda ditabuh ketika itu. Kutukan menakutkan terlontar dari Kresna yang marah ketika tiwikrama menjadi sesosok raksasa, "Kebenaran akan terungkap, hai Kurawa. Kalian bakal palastra dalam Bharatayuda."
Mungkin kita bertanya, mengapa Kresna yang notabene seorang duta bisa semarah itu? Bukankah tindakan itu melewati batas-batas tugas seorang caraka, paling tidak dalam konsepsi perundingan modern? Mungkin kita bisa memaklumi kemarahan Kresna. Mungkin pula kita bisa memaklumi kegagalannya sebagai duta. Sebab, dalam terminologi wayang, dia hanyalah seorang titah dan di atasnya ada organisasi perdewaan yang lebih berkuasa. Dan, para dewa memang telah menyiapkan Serat Jitapsara, kitab perang Bharatayuda.
Ya, dalam lakon itu kita mendengar sang dalang berteriak, "Bharatayuda kudu dadi." Maka, kita tahu upaya perundingan damai itu harus gagal demi sebuah skenario besar yang diciptakan kekuasaan yang lebih besar lagi. Kita tahu pula mengapa beberapa dewa mengiringi Kresna ke Hastinapura adalah juga bagian dari permainan besar itu.


***

SAYA yakin, kita tak mau ada skenario besar para dewa di balik penandatanganan nota kesepahaman perdamaian antara RI dan GAM. Kita tak ingin para fasilitator itu bukan Kresna yang bijak, melainkan raksasa marah yang terjelma dari tiwikrama-nya. Kita tak mau Helsinki hanyalah Hastinapura yang selalu penuh dengan keculasan. Kita tak mau ratusan pemantau asing itu hanya serupa Bhisma, Durna, Kripa, atau Widura yang berusaha meneriaki kepongahan dan keculasan Duryudana, tetapi lalu bergeming. Lebih-lebih lagi kita tak ingin mereka malah bermuka Sangkuni.
Saya yakin, kita sangat ingin sigar semangka yang ditawarkan Pandawa via Kresna benar-benar sebuah solusi tepat. Kita sangat ingin Aceh itu sebuah nanggroe (negeri) yang benar-benar darussalam (wilayah damai).
Memang kita tahu, tak semua orang Aceh paham soal nota kesepahaman itu, seperti beberapa kelompok di belahan lain Nusantara tak selalu bulat menerima itu. Lihat sekitar kita, skeptisisme muncul dalam bentangan spanduk di tepi-tepi jalan yang berbunyi "Kita cinta damai, tapi lebih cinta NKRI".
Ya, pada sebuah perundingan yang telah tertandatangani, kita memang acap harus bersikap skeptis. Tak hanya Kresna yang gagal sebagai duta perdamaian, Sunan Giri pun dalam Babad Tanah Jawi (mungkin) merasa perlu menyesali pilihan perdamaian yang ditawarkan dalam konflik antara Panembahan Senopati dari Mataram dan Pangeran Surabaya yang mewakili para bupati dari brang wetan. Seperti Kresna yang punya formula sigar semangka, Sang Sunan menawarkan pilihan yang lebih bersifat filosofis: isi atau wadhah.
"Layang ingsun Kangjeng Sunan Giri dhawuha marang putra ningsun Senapati ing Mataram lan dhawuha marang putra ningsun Pangeran Surabaya. Liring layang, nggonira bakal perangan iku ingsun ora nglilani, krana bakal akeh pepati, ngrusakake wong cilik. Ing mengko sira loro miliha: isi lan wadhah. Yen sira wis padha milih isi lan wadhah mau ing sasenengira dhewe-dhewe, tumuli padha atuta, lan padha sukura ing Allah. Lan ing mbesuk, menawa ana kersaning Allah, sira padha tinitah luhur utawa andhap, narimaa ing pepesthen. Titi."
Pangeran Surabaya memilih isi, sedangkan Senapati mendapat bagian wadah. Namun dari situ pulalah muncul konflik berlarut antara Mataram dan wilayah brang wetan seperti Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Malang, dan Kediri. Senapati seolah-olah mendapat sebuah "piagam" aneksasi wilayah karena pilihannya. Bahkan, pilihan itu seolah-olah memperoleh kebenaran asketis, beroleh restu dari langit. "Wruhanira, wis pinesthi karsa Allah, Senapati nggonge nampani wadhah iku wis kebeneran. Wadhah iku negara, isi iku uwonge. Ing semangsane uwong ora nurut marang kang duwe bumi, mesthi bakal ditundung."
Ya, mengapa Giri menawarkan pilihan yang memang adil, tetapi lalu berujung pada keuntungan di satu pihak dan kebuntungan di pihak lain? Dia menawarkan perdamaian dengan rasa keadilan, tetapi (mungkin) tak dinyana itu berbuah pertikaian terus-menerus? Apakah Giri tak tahu ekses buruk tawaran pilihannya? Untuk pertanyaan ini, saya patut mempertanyakan ilmu laduni Sang Kanjeng Sunan, ilmu yang bisa weruh sadurunge winarah. Namun itu mungkin tak perlu kita berpanjang peneraan. Yang pasti, sebuah perundingan, betapa pun semua klausulnya menguntungkan kedua pihak yang berseteru, hanyalah sebuah upaya, sebuah ikhtiar yang patut pula disikapi secara skeptis.
Boleh jadi, apa yang dilakukan Kresna, juga Giri, disemangati oleh kerinduan nuraniah akan perdamaian. Paling tidak, itu sebuah semangat mulia, sebuah mission sacre. Lebih ngeri lagi andai kita membayangkan sebuah perundingan yang dilakukan hanya sebagai muslihat atau jalan yang melempangkan plot skenario yang lebih besar seperti para dewa yang telah mengguratkan Jitapsara. Kita ingat bagaimana Pangeran Diponegoro masuk perangkap licik Belanda yang berselubung sebuah perundingan di Makassar. Perundingan itu hanya melempar sang Pangeran ke jeruji besi hingga maut menjemput. Dalam versi ketoprak brang wetanan, kita juga menyaksikan aksi tipu-tipu Sunan Kudus yang mempertemukan Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya. Dalam cerita ketoprak itu, sang sunan adalah pendukung dan pemberi restu Adipati Jipang Panolan dan sebagai juru damai, dia jelas berpihak. Namun tentu tak semua perundingan bermula dan berakhir dengan cara-cara seperti itu. Sebab, "Bila ada luka, kita harus coba sembuhkan. Bila sakit seseorang bisa kita sembuhkan, kita harus mengupayakannya," ujar dokter Iannis dalam film Captain Corelli's Mandolin.
Ya, bila luka Aceh masih bisa disembuhkan, kenapa kita tidak mengupayakannya? Meskipun mungkin kepala kita telah penuh cerita keculasan yang membuat kita sering tak lagi percaya pada niat baik.(*)

g Saroni Asikin

)* Tulisan di Rubrik ''Pamomong'' Suara Merdeka, 2004 (lupa tanggalnya)

21 Juli 2007

Pencarian Identitas Batik Semarang: Realitas dan Harapan
Oleh Saroni Asikin )*

SABTU (21 Juli 2007) di Pekalongan dalam ‘’Bincang Batik Kontemporer’’, panitia menyebutkan nama peserta yang diundang dari kalangan komunitas pembatik di banyak daerah. Solo, Lasem, Cirebon, bahkan Riau disebut, tapi Kota Semarang sama sekali tak disebutkan. Saat itu saya berpikir, apakah komunitas batik nusantara belum mengakui atau belum tahu kalau sekarang ini Semarang punya orang-orang yang aktif di bidang tekstil ini?
Kenyataannya, coba tanyakan pada seseorang mengenai batik di Jawa. Sangat mungkin dia bakal menyebut nama Surakarta atau Solo, Yogya, Pekalongan, Lasem, atau Cirebon. Tempat-tempat itu sudah menjadi semacam sebutan baku ketika orang membincangkan motif batik atau aktivitas perbatikan.
Kalau diperlihatkan selembar kain batik, seseorang yang suka atau paham soal perbatikan, sangat mungkin bisa dengan cepat menyebut jenisnya. ‘’Oh, ini batik gaya Solo, yang itu Jogja. Kalau yang itu Laseman, itu Cirebonan, sementara yang itu Pekalongan.
Beberapa orang yang sudah terbilang expert dalam mencermati kekhasan motif batik di daerah-daerah bahkan bisa dengan cepat membandingkan satu batik dengan batik lainnya. Dia bisa mengenali mana batik Bakaran Pati, Tegal, Kebumen, Banyumas, atau Purworejo.
Tapi mana batik Semarang? Coba tanya saja, apakah Semarang juga punya batik? Sangat mungkin jawabannya hanya berupa gelengan kepala. Beberapa pemerhati batik di Kota ATLAS ini menyebut kenyataan seperti itu agak ironis. Pasalnya, kalau dengan dibandingkan kota-kota kabupaten lainnya di Jateng, ‘’ketiadaan’’ tengara batik di kota sebesar Semarang, kota bersejarah panjang dan menjadi ibukota provinsi, boleh dibilang sangat mengherankan dan memprihatinkan.
Persoalan mengenai apakah Semarang punya sesuatu yang layak dikedepankan dalam hal kreasi tekstil ini memang memikat ditelusur. Kalau kita menengok wacana belakangan mengenai revitalisasi batik di tiap daerah dengan keyakinan setiap daerah punya batik khas, maka Semarang juga patut dipertimbangkan. Pemerhati batik seperti Judi Achjadi atau Asmoro Damais yang mengatakan tak ada batik berkategori ‘’Batik Semarang’’, kenyataannya juga punya asumsi bahwa semestinya pada zaman dahulu ada perbatikan di Semarang. Asumsi itu berdasar atas tradisi perempuan yang suka batik atau keterampilan membatik di kalangan perempuan pada hampir semua kota di Jawa. Jadi, dalam hal ini, nama Semarang baru disebut hanya sebagai loka atau tempat aktivitas perbatikan, bukan sebagai tengara atau motif khas yang bisa langsung disebut sebagai Batik Semarangan. (Beberapa pemerhati Batik sepakat penggunaan istilah Batik Semarang untuk batik-batik yang dibuat di Semarang, sementara batik Semarangan sudah merujuk pada gaya berupa pola desain, corak, motif yang mencakup juga kekhasan latar, warna, dan isen-isen)
Dalam beberapa gelaran pameran batik yang mengusung atribut Batik Semarang juga sering muncul kebelumpercayaan bahwa Semarang punya batik yang menjadi ciri khasnya. ‘’Apakah Batik Semarang hanya memunculkan motif flora dan fauna saja. Seperti itukah yang disebut Batik Semarangan?’’
Sering pula muncul pertanyaan, ‘’Apakah kreasi batik Indoeropa seperti yang dilakukan Ny Ossterom dan Ny Franquemont, atau kreasi orang Tionghoa peranakan sudah merepresentasikan sesuatu yang bisa dipahami sebagai batik Semarangan?’’
Itu antara lain pertanyaan yang masih menyangsikan keberadaan Batik Semarang. Adakah batik yang bisa disebut batik Semarangan? Kalau ada, apa polanya yang dianggap khas?
Sisi baik dari kesangsian tersebut adalah munculnya wacana mengenai perlunya pencarian identitas batik yang secara karakteristik bisa disebut Semarangan. Para inteletual pemerhati batik, perajin, dan orang-orang yang concern terhadap jenis tekstil ini masih pula belum bisa mengambil sebuah simpulan. Tapi hampir semuanya sepakat, bahwa pada masa lalu, Semarang pernah punya aktivitas perbatikan. Artinya, ada jejak historis yang bisa dipakai sebagai pijakan. Nama Kampung Batik di sekitar wilayah Bubakan, Kota Semarang bisa dijadikan tengara mengenai jejak historis itu.
Pada kenyataannya, dalam beberapa literatur, muncul beberapa batik yang tegas-tegas disebut Batik Semarang, khususnya dalam ulasan mengenai batik pesisir. Begitu pula muncul beberapa nama yang disebut sebagai pengusaha batik di Semarang.
Dalam perkembangannya muncul beberapa perajin batik yang intensif mengusung motif dengan ciri khas Semarang. Sekadar contoh, motif batik Warak Ngendog dan Pandan Arang kreasi Neni Asmarayani (tahun 1970-an), Semen Dampo Awang, Jembatan Mberok, atau Ya’ik Permai kreasi Sanggar Batik Sri Retno (1970-1980-an), serta belasan kreasi Batik Semarang 16 (tahun 2006) seperti Tugu Muda Kekiteran Sulur, Blekok Srondol, atau Lawang Sewu Ngawang. Tentu saja motif-motif seperti itu tak bisa dijumpai pada batik mana pun di nusantara selain di Semarang. Bersama-sama dengan motif-motif lain yang serupa, maksudnya yang memunculkan ikon khas Semarang, tak bisakah lalu disebut saja sebagai Batik Semarang?

Mari kita lihat jejak-jejak itu...

Robyn Maxwell, seorang peneliti tekstil di Asia Tenggara, menjumpai sebuah sarung di Tropenmuseum Amsterdam yang dibuat di Semarang. Dalam bukunya bertajuk Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade, and Transformation ( 2003), Maxwell menyebutkan, kain berukuran 106,5 x 110 cm yang terbuat dari bahan katun dengan dekorasi dari warna alam memiliki motif yang sangat berbeda dengan motif batik Surakarta atau Yogyakarta.
Bertemakan militer, batik yang diproduksi pada abad ke-19 itu menggambarkan barisan serdadu, pembawa panji-panji, pemain musik, dan para bangsawan yang naik kereta kuda. Menurut catatan museum, motifnya menggambarkan perayaan Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Kepala-nya bermotif jajaran ornamen ganda berbentuk segitiga dan geometris yang merupakan tipe desain kain panjang yang diproduksi di Jawa untuk pasar Sumatra.
Kenapa bisa berada di Tropenmuseum? Maxwell menjelaskan, batik itu ada di antara barang-barangan dagangan dari Hindia Timur yang dikirim ke negeri Belanda.
Peneliti lain, Pepin van Roojen, juga menemukan beberapa jenis batik dari Semarang seperti yang dia tulis dalam bukunya berjudul Batik Design (2001). Ada kain sarung yang dibuat pada akhir abad ke-19 di Semarang. Sarung itu memiliki papan dan tumpal dengan ornamen berupa bhuta atau sejenis daun pinus runcing asal Kashmir. Motif badannya berpola ceplok. Ini menunjukkan, meskipun secara spesifik batik Jawa Tengahan yang diwakili Surakarta dan Yogyakarta berbeda dengan batik pesisir -Semarang termasuk di dalamnya-, tetapi pola-pola baku tetap pula dipakai seperti ditunjukkan pada motif berpola ceplok itu.
Ada pula peneliti batik yang menegaskan, batik Semarang, dalam beberapa hal memperlihatkan gaya Laseman. Karakter utama Laseman berupa warna merah (bangbangan) dengan latar gading (kuning keputih-putihan). Lee Chor Lin (2007:65) mengatakan, Laseman dengan ciri bangbangan memengaruhi kreasi batik di beberapa tempat di pesisir utara lainnya seperti Tuban, Surabaya, dan Semarang.
Peneliti lain, Maria Wonska-Friend (Smend et al, 2006:53) menyebutkan ciri pola batik Semarang berupa pola floral, yang dalam banyak hal sangat mirip pola Laseman. Tak heran, pada koleksi Rudolf G. Smend, banyak sekali kain batik dari abad ke-20 yang disebut batik Lasem atau Semarang. Maksudnya, batik-batik tersebut tak secara spesifik disebut sebagai kreasi satu kota misalnya batik Lasem saja, atau batik Semarang saja.

Nyonya Ossterom & Nyonya Fraquemont

Dua orang Indoeropa ini punya kontribusi besar dalam sejarah batik di Semarang. Keduanya membuka workshop di wilayah Semarang. Beberapa contoh kreasi mereka bisa disebutkan.
Nyonya van Ossterom pada abad ke-19 membuat batik dengan pola yang lumayan rumit pada bagian papan dan kepala-nya. Misalnya itu ditunjukkan pada batik yang menggambarkan 59 tokoh wayang kulit, termasuk naga dan garuda. Itu juga dijumpai pada kreasi lain sang mevrouw berupa sarung dengan motif legenda China.
Ada catatan menyebutkan, orang ini lalu pindah ke Banyumas untuk meneruskan usaha pembatikannya. Pasalnya, tempat produksinya hancur terkena letusan Gunung Ungaran. Salah satu kreasinya berupa sarung yang dikoleksi H Santosa Dullah (Batik Danar Hadi) dalam pola Sirkus yang antara lain menggambarkan penunggang kuda, orang dansa, bangunan mirip kastil, pohon palma, dilengkapi dedaunan dan burung yang sangat mirip phoenix.
Carolina Josephina von Franquemont yang aktif berproduksi pada dekade 1850-1860 pernah membuat sarung berkualitas bagus. Sarung buatan tahun 1850 itu mengombinasikan beberapa elemen: badannya bermotif garis miring, dipisahkan dengan pola motif ombak berisi ikan sebagai isen. Detail badannya berisi kehidupan di air seperti ikan, kerang, kura-kura, tanaman bawah air, kapal layar, dan seorang anak kecil di atas biduk bermahkotakan naga. Papan dan tumpalnya didekorasi dengan daun dan buah pohon eks.
Kedua orang tersebut mewakili peran para wanita Indo-Eropa yang menjadi motor penggerak kerajinan batik di Pesisiran Jawa. Meskipun waktu produksinya tak selama Eliza Chralotta van Zuylen yang berproduksi di Pekalongan, kedua perempuan itu tetap memberi kontribusi penting bagi sejarah Batik Semarang.
Ada dua koleksi batik Fraquemont yang dikoleksi H Santosa Dullah berupa sarung dengan pola Dewi Hsi-Wang Mu, dan pola Wayang.

Tan Kong Tien

Pada awal abad ke-20, ditemukan sebuah perusahaan batik yang cukup besar di Semarang. Namanya “Batikkerij Tan Kong Tien”, yang awalnya berada di daerah Bugangan Semarang ini milik seorang lelaki peranakan Tionghoa bernama Tan Kong Tien.
Catatan yang ditulis Dr Dewi Yuliati, peneliti batik dari Undip Semarang, menyebutkan keterampilan membatik dan mengelola perusahaan batik Tan Kong Tien didapat dari istrinya yang bernama Raden Ayu Dinartiningsih, salah seorang keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono III dari Kasultanan Yogyakarta. Tan Kong Tien sendiri merupakan anak dari Tan Siauw Liem, seorang tuan tanah di Semarang yang mendapat kehormatan gelar mayor dari pemerintah Hindia Belanda.
Pernikahan antara Tan Kong Tien dengan RAy Dinartiningsih menurunkan Raden Nganten (RNg) Sri Murdijanti. Dialah anak yang meneruskan usaha batik hingga tahun 1970-an. Ia sendiri mendapat kepercayaan untuk memonopoli batik di wilayah Jawa Tengah dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) pasca-Perang Kemerdekaan.
Uniknya, proses produksi kebanyakan dilakukan di rumah-rumah para pembatik yang tergabung pada perusahaan itu. Singkatnya, merekamenerapkan pola home industry yang tersebar di kampung Rejosari, Kintelan, Kampung Batik, Karang Doro, Mlaten Trenggulun, Kampung Darat, dan Kampung Layur. Produksi dari kampung-kampung tersebut tidak dilakukan secara massal, namun hanya dilakukan berdasar pesanan belaka. Yang menjadi pertimbangan adalah waktu yang dibutuhkan sangat panjang, rata-rata satu bulan untuk selembar kain.
Masih dalam catatan Dewi Yuliati, motif-motif batik dari “Batikkerij Tan Kong Tien”, merupakan hasil akulturasi motif pesisiran yang berkarakter terbuka dan motif keraton, khususnya Yogyakarta yang berkarakter simbolis. Perpaduan ini bisa dipahami sebagai bagian adaptasi persentuhan antara Tan Kong Tien yang orang pesisiran Semarang dengan istrinya yang orang keraton. Sebagai contoh, motif dasar parang yang merupakan motif batik keraton, seringkali dipadu dengan motif burung merak. Di sini terlihat sekali akulturasi gaya ekspresi peradaban keraton yang penuh simbol (digambarkan dalam parang), dan karakter pesisiran yang lebih realis dan terbuka (motif Merak).

Neni Asmarayani

Pada tahun 1970-an, perempuan ini membuka semacam galeri batik di rumahnya di Jl Seroja Dalam. Dalam penciptaan desain, dia melibatkan beberapa pelukis dan seniman ternama ketika itu seperti R Hardi, Bagong Kussudiarjo, dan Kusni. Paling tidak, ada dua motif bernuansa Semarang yang diciptakan, yaitu Warak Ngendog dan Pandan Arang.
Sayang tak diketahui sampai kapan perempuan itu berkreasi. Beberapa orang yang sempat mengenalnya mengatakan, perempuan itu telah meninggal dan anak-anaknya yang (katanya) tinggal di Sragen tak melanjutkan usaha pembatikan. (Dan sungguh sayang, sampai tulisan ini dibuat saya masih belum mendapat informasi di mana keluarga Ny Neni, paling tidak nomor telepon yang bisa dilacak).

Sri Retno

Pada dekade bersamaan, ada sebuah perusahaan batik yang dikelola orang pribumi Jawa di daerah Jatingaleh Semarang. Namanya Sri Retno yang dikelola oleh Oentoeng Suwardi dan istrinya Tamsiyati. Selama berdiri dari 1973 hingga 1982, nama perusahaan ini cukup penting bagi industri batik di Semarang. Sama seperti yang sudah-sudah, pasarnya meliputi kalangan pejabat, pelancong, dan tamu-tamu asing yang punya urusan dengan pemerintahan Provinsi Jawa Tengah.
Nilai penting batik Sri Retno ini bertumpu pada beberapa kreasi yang memadukan gaya Batik pesisiran dengan keraton seperti yang dilakukan “Batikkerij Tan Kong Tien”. Batik pesisiran yang dimaksud dalam hal ini adalah pola-pola desain batik Pekalongan yang punya citra tersendiri. Ini wajar mengingat keluarga pemilik perusahaan batik Sri Retno berasal dari Batang, sebuah kabupaten yang berada di sebelah timur Pekalongan.
Yang pantas dicatat pada Sri Retno adalah inovasi yang dilakukannya dalam hal motif. Karena bertempat produksi di Semarang, jejak-jejak kekhasan kota tersebut juga menjadi sumber eksplorasi penciptaan motif batiknya. Dalam hal ini, Sri Retno telah berani menciptakan motif yang tak belum dijumpai dalam kreasi batik yang diproduksi di Semarang.
Motif yang dimaksud adalah motif yang langsung merujuk pada landmark kota Semarang seperti motif Tugu Muda (monumen pengingat kisah Pertempuran Lima Hari di Semarang), Jembatan Mberok (sebuah jembatan legendaris di sekitar Pasar Johar), dan Pasar Ya’ik (nama pasar legendaris).
Sayang sekali, perusahaan yang sebenarnya telah punya pasar dan populer sebagai pencipta batik Semarangan itu beroperasi tak sampai satu dekade. Titin Woromurtini, salah seorang putri Oentoeng Suwardi berobsesi bisa menghidupkan kembali Sri Retno. Dia yang sehari-hari menjadi dosen Arsitektur Undip itu pun masih tetap membatik, tapi untuk kepentingan sendiri.

Batik Semarang 16

Setelah sekian lama vakum, mulai tahun 2005, muncul nama Umi S Adi Susilo yang aktif menghidupkan kembali aktivitas perbatikan. Selain banyak mengadakan pelatihan batik, dia juga membentuk perusahaan kerajinan batik yang sekarang dikenal dengan nama Batik Semarang 16. Yang sangat menarik, perusahan kerajinan batik ini menciptakan banyak motif khas Semarang. Eksplorasi penciptaan motifnya nya tak semata pada landmark Kota Semarang, tapi pada elemen-elemen dekoratif banyak bangunan tua di kota tersebut.
Satu catatan penting untuk Batik Semarang 16, ia adalah contoh kreativitas aneka kriya yang sangat peduli terhadap lingkungan. Makanya dalam berkreasi, perusahan kerajinan batik tersebut menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dengan warna-warna alam (natural dyes) dalam proses pembatikannya.
Pelbagai motif telah dihasilkan Batik Semarang 16, terutama motif-motif baru yang berhubungan dengan landmark Kota Semarang seperti Tugu Muda Kekiteran Sulur, Lawang Sewu, Asem Arang, Blekok Srondol, dan banyak lagi. Beberapa motifnya bahkan telah dipatenkan di Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Mari Bersatu Kata…

Jejak-jejak aktivitas perbatikan di Semarang sudah disebutkan. Itu artinya, kota tersebut punya tradisi batik. Ini hal penting untuk memberi keyakinan pada para pecinta batik bahwa pasti ada pola tertentu yang mencirikan batik Semarangan.
Tapi itu bukan pekerjaan gampang. Sebagai entitas budaya, pencarian pola khas suatu batik butuh penelitian yang panjang dan holistik. Pencarian identitas batik Semarang ini sangat berkaitan dengan sejarah kota dan kebudayaan masyarakatnya. Menurut saya, dalam prosesnya patut dilibatkan banyak pihak. Sebut saja, Pemkot atau semua stakeholder Kota, para peneliti (sejarawan, budayawan, sosiolog), atau siapa pun yang concern pada batik. Bahkan, kalau perlu penelusuran ke beberapa museum batik perlu dilakukan seperti di Trompenmuseum Amsterdam, Los Angeles County Museum, atau National Museum of Singapore.
Sembari menunggu hasil dari penelusuran batik Semarangan, proses pembatikan di Kota Semarang yang kini aktif dilakukan di Kampung Batik, pelatihan di Marabunta, atau juga di beberapa workshop batik lainnya tidak boleh diabaikan. Penciptaan motif-motif baru sangat perlu terus dimunculkan. Aktivitas, baik pelatihan, produksi, maupun distribusinya juga seyogianya berjalan lempang. Singkatnya, kegairahan terhadap batik yang sudah tumbuh ada baiknya tak ‘’terbebani’’ oleh perdebatan seputar pola khas batik Semarangan.
Dengan kata lain, penelitian dan produksi seyogianya berjalan beriringan.

Usulan Pencarian Identitas Batik Semarangan

1. Mencermati pola-pola kain cindai (patola) dan chintz dari India. Pola itu pernah sangat disukai, khususnya kalangan Belanda dan orang-orang kaya. Alasan lain: Osterom dan Franquemont dan beberapa pembatik pesisiran pernah mengadopsi patola dan chintz dalam kreasi batik mereka.
2. Mencermati pula pola Panastroman yang dipengaruhi pola batik keraton ketika Osterom sudah berproduksi di Banyumas.
3. Jangan lupakan pola batik keraton. Sebab, tak termungkiri pola dan ragam hiasnya banyak memengaruhi batik-batik di luar keraton seperti batik sudagaran, batik petani, juga batik Belanda dan China. Franquemont pada awal kreasinya juga menyukai warna soga keraton. Selain itu, keberadaan Semarang sebagai kota pelabuhan, sebagai tempat transit batik-batik dari pedalaman mungkin sekali mengadopsi pola-pola keraton dengan tafsir pesisiran atau gaya Eropa. Ada pula kecenderungan orang-orang di Semarang memakai jenis batik berpola keraton. Konon orang kaya Semarang seperti Tasrifin pun memakai batik kawung. Jadi, jejak pengaruh itu bisa dicari,
4. Mencemati pula pengaruh Laseman dan Dermayon. Khusus untuk Dermayon yang karakteristiknya mirip Laseman, polanya banyak yang mengangkat tema bahari. Semarang yang sebagian bertradisi bahari sangat mungkin pula mengangkat tema-tema tersebut dalam pola batiknya.
5. Jangan lupakan pula pola-pola batik daerah sekitar seperti Demak, Kendal, atau Kudus. Kedekatan geografis sangat memungkinkan proses pengaruh-memengaruhi. Khusus untuk batik Kudus, corak warna khasnya yang biru muda juga patut ditelusur mengingat pada awal-awal kreasinya Osterom dan Franquemont menyukai biru keraton yang dibuat lebih muda di samping warna soga.

Kalau ternyata tak ada batik Semarangan?
1. Ya, buat saja batik berpola baru atau kontemporer. Fenomena ini bukan hal baru, sebab dalam sejarah panjang batik, para pembatik selalu bisa melakukan inovasi. Contohnya, ketika muncul larangan pola tertentu dari Sultan Agung, para saudagar batik di luar keraton membikin batik sudagaran dari pola-pola terlarang itu dengan sedikit perubahan. Begitu juga ketika zaman Jepang, muncul batik Djawa Hokokai dengan kain pagi-sore yang notabene reaksi atas situasi ketika itu. Tentu saja pola-pola yang telah ada masih berpengaruh, tapi secara umum kreasinya benar-benar baru. Sabtu (21 Juli 2007), di Pekalongan pada acara ‘’Bincang Batik Kontemporer’’. Narasumber yang ada, juga Iwan Tirta yang jadi keynote speaker memberi saran untuk terus mengembangkan batik kontemporer. Dia bahkan membawa contoh kreasinya yang disebut kain empat negeri (dibuat di Jakarta, berpola Yogyakarta, isen-isen latarnya Surakarta, dan dicelup di Pekalongan.)
2. Bisa pula bikin pola batik baru yang mengangkat khazanah kota, baik berupa sejarah, mitos, atau folklor. Misalnya kisah Ki Ageng Pandanaran (seperti pernah dibuat Neni Asmarayani), atau pertempuran lima hari di Semarang (Yudha semarangan oleh Batik Semarang 16 atau Tugu Muda Sri Retno ), atau mungkin kisah-kisah yang lain. Kalau dulu Franquemont yang memang orang Eropa membuat batik dengan pola dongeng Hanzel dan Gretel, kenapa kita tidak bikin saja misalnya legenda Jati yang Ngaleh, atau apapun.
3. Kalau mau kisah yang kontemporer, bikin saja misalnya kisah tokoh kekinian Semarang dengan nama Banjaran X atau Banjaran Y. Kalau saya tokoh hebat di sini, ya bikin saja Banjaran Saroni Asikin.

Di luar ‘’diskusi berlarut-larut’’ mengenai ‘’yang manakah batik Semarang’’, debat kusir yang kalau pinjam istilah anak saya ‘’CAPEK DECH” , saya ingin mengajak Anda semua untuk bersatu kata dalam penyebutan istilah. Analoginya kalau batik yang diproduksi di Lasem disebut Batik Lasem atau di Pekalongan dengan sebutan Batik Pekalongan, maka sangat mungkin bisa berterima bila batik yang diproduksi di Semarang disebut Batik Semarang. Di sini, faktor loka perbatikan bisa diikuti pelabelannya. Maksudnya, batik yang diproduksi di Kota Semarang, sebut saja Batik Semarang.
Syukur dalam waktu yang tak lama, kita sudah sama-sama mendapat simpulan mengenai seperti apakah yang disebut batik Semarangan.

Semarang, 24 Juli 2007

RUJUKAN

Dullah, H Santosa. Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Danar Hadi: Solo, 2002.
Lin, Lee Chor. Batik: Creating and Identity. National Museum of Singapore: Singapura, 2007.
Maxwell, Robyn. Textiles of Southest Asia: Tradition, Trade, and Transformation. Australian National Gallery: Australia, 2003.
Roojen, Pepin van. Batik Design. The Pepin Press: Amsterdam-Singapura, 2001.
Smend, Rudolf G et al. The Rudolf G. Smend Collection: Batik 75 Selected Masterpieces. Galerie Smend: Koln, 2006.
Tulisan di Media Massa tahun 1970-1980 dan tulisan Dr Dewi Yuliati di Seputar Semarang (2006)


* Saroni Asikin, Pecinta Batik dan Wartawan Suara Merdeka. Tulisan ini disampaikan dalam Seminar dan Launching Pengembangan dan pelestarian Batik Semarang, di Hotel Pandanaran Semarang, 24 Juli 2007

16 Juli 2007

Menghukum Telunjuk

TAK ada sulitnya memberi hadiah pada anak. Yang termudah dan termurah, ya pujian plus ciuman di pipi. Sebaliknya, dalam memberi hukuman pada anak, kita harus pintar-pintar mencari cara yang pas. Salah-salah bisa berabe, lho. Bisa-bisa si anak menganggap kita orang tua jahat seperti tukang sihir.
Saya dan istri sudah sepakat mengenai kedua hal tersebut. Khusus untuk pemberian hukuman, kami berkomitmen bahwa hal itu dilakukan semata agar si anak tahu bahwa dirinya telah berbuat kekeliruan. Konsep hebatnya sih menyadarkan anak bahwa suatu tindakan yang keliru pasti ada sanksinya. Tapi tak mungkin kan menjelaskan pemahaman seperti itu pada anak umur 6 atau 8 tahun seperti anak kami itu?
Kalau terpaksa menghukum secara fisik, kami berdua menerapkan cara praktis seperti ini: menghukum bagian tubuh yang dipakai untuk suatu kenakalan. Kalau yang bersalah tangan, misalnya memukul sepupunya atau teman bermainnya, ya tangannya itu yang dihukum. Kalau kakinya yang menendang, ya kakinya yang diberi pelajaran. Catatan khususnya, hukuman tidak boleh menyakitkan. Cukup satu tepukan kecil. Kesepakatan tambahannya kami wajib memberi dia pelukan dan ciuman setelah menghukum. Paling tidak, dengan begitu si anak tetap merasa kami sayangi. Siapa yang mau disebut ayah atau ibu jahat?
Suatu hari misalnya, Bunga (waktu itu masih usia 4 tahun) sedang bermain boneka dengan sepupunya yang masih sepantaran usia dengan dia. Lagi asyik-asyiknya mereka bermain, lengkap dengan tawa kanak-kanak yang riang, tiba-tiba Bunga merebut boneka Panda dari tangan teman mainnya. Tak hanya merebut, dia juga membanting boneka itu ke lantai sambil berteriak,’’ Dasar bayi bodoh!’’ Wah, itu teriakan yang dia adopsi dari tokoh Angelica dalam film kartun Rugrats yang sering dia tonton.
Melihat hal itu, saya langsung memanggil Bunga. Tentu saja dengan suara yang tak keras. Ketika dia mendekat, saya bilang, ‘’Mana tangannya yang tadi untuk ngerebut dan ngelempar boneka?’’
Dengan muka tanpa dosa dan tanpa rasa takut, dia menyodorkan kedua tangannya. Saya pegang kedua tangan itu dan dengan satu tepukan lembut pada telapak tangannya, saya berkata, ‘’Tangan ini kan untuk menimang boneka, bukan untuk ngerebut dan ngelempar. Bunga tahu, kan?’’
Dia cuma mengangguk dengan wajah polos. Setelah itu, mereka berdua bermain lagi dan tawa riang anak-anak kembali terdengar seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Pada kali lain, saya mendapati Bunga (masih usia menjelang 5 tahun) menendang kaki teman sepermainannya. Saya tahu, mungkin dia kesal karena temannya itu tanpa sengaja menendang mainan pasar-pasaran yang sedang dia gelar di lantai. Saat itu, saya berpikir jangan-jangan dia meniru kami dalam memberi hukuman. Mungkin karena yang menendang mainannya adalah kaki sang teman, maka kaki itu pula yang dia hukum dengan menendangnya pula. Repotnya, temannya itu menangis dan pulang ke rumahnya.Lagi-lagi, saya memanggil Bunga untuk memberi hukuman. Dia mandah saja. Dengan tangan, saya tepuk kakinya secara pelan. Kali ini, Bunga protes. ‘’Kaki dia kan salah, jadi dihukum dong, Yah?’’Saya harus menjawab apa terhadap protes itu? Alih-alih menjawab, saya peluk dia sembari mencium pipinya. ‘’Ayah yakin besok-besok Bunga tak akan menendang teman lagi.’’
Saya menceritakan hal itu pada istri saya. Dia hanya tertawa, lalu berkata, ‘’Wah, kayaknya Bunga mulai meniru cara kita nih, Yah. Kalau gitu, kita harus cari cara lain. Tapi bagaimana, ya?’’Sampai beberapa waktu, kami berdua belum menemukan cara lain itu. Kami masih menerapkan hal yang sama sambil terus mencari cara dari teman-teman kami atau baca-baca artikel mengenai hal tersebut. Bagaimanapun kami masih yakin bahwa tujuan penghukuman semata untuk memberi pemahaman si anak tentang sanksi.
Di saat kami masih kebingungan mengubah cara, suatu hari Bunga ‘’bertingkah’’ lagi. Dia mencolok mata seorang temannya persis di depan mata saya. Lagi-lagi temannya menangis dan pulang ke rumahnya. Karena belum menemukan cara yang berbeda, saya terpaksa menyetiai cara lama.
‘’Bunga sini, tangannya dihukum!’’
Seperti biasa dia mandah saja dan mendekat ke arah saya. Tapi apa yang dia sodorkan? Bukan tangan yang dia acungkan melainkan telunjuk tangan kanannya. ‘’Ini yang tadi nyolok, Yah.’’
Saya hampir tertawa mendengar itu. Tapi tentu saja saya tahan dan dengan terpaksa telunjuk itulah yang saya sentil. Begitu saya ceritakan hal itu pada istri, dia tertawa ngakak. Setelahnya, kami jadi yakin untuk mengubah cara memberi hukuman. Tapi bagaimana?(*)

* Pindahan dari bungadara.blogspot.com

Si Cacat Penjual Koran

Sepulang dari kantor, aku menyusuri Jl Cipto Semarang. Hujan rintik ketika itu. Di bangjo Milo, seorang lelaki berdiri dengan kruk penyangga kaki. Kakinya hanya satu. Dari jauh, sebelum aku berhenti karena nyala merah lampu perempatan, dia kulihat berdiri kukuh. Kupikir dia seperti laiknya pengemis lain yang cacat. Tidak, tidak, dia tak mengemis. Pada ketiak kanannya dia mengapit penyangga kruk, dan di ketiak kirinya terkepit setumpuk koran sore.
Aha, dia menjual koran rupanya. Selintas dia tampak khawatir rintik hujan merusak koran jualannya.
Di belakang dia muncul empat anak muda, sehat dan bertubuh trengginas. Tiga orang di antaranya memiliki rambut yang dicat menyala. Salah seorang mengapit ukulele dan mereka bersiap-siap naik ke bus. Untuk apa lagi kalau bukan mengamen?
Pemandangan yang hanya beberapa kejap sebab lampu telah menyala hijau. Tapi ada yang tertinggal di hatiku. Kenapa si cacat itu tak mengemis saja? Kenapa repot-repot menjual koran yang mungkin keuntungannya tak seberapa? Kenapa dia tak naik bus saja, rengeng-rengeng sebentar dan menadahkan telapak tangan ke para penumpang seperti empat pengamen yang ''bergaya'' itu?Adakah dia punya harga diri terlalu mahal sehingga tak mau sekali pun menadahkan tangan? Kalau demikian, betapa malunya aku. Dan betapa marahnya aku pada anak-anak muda yang dengan enteng menadahkan tangan hanya karena sebuah ''hiburan tak diundang'', yang kadang-kadang juga sama sekali tak menghibur.

* pindahan dari bungadara.blogspot.com

Dara, Barbie yang Berenang




Namanya Molek Dara Cahayamata. Panggilannya Dara. Saat demam Inul Daratista si Ratu Ngebor tahun 2003, sering sekali dia dipanggil Inul. Eh, jangan panggil dengan sebutan itu sekarang. Dia akan marah-marah. Gak suka, katanya. Aku Dara, bukan Inul, ujarnya. Ya, marah benar semarah kalau rambutnya disebut brekele atau keriting. Dia maunya dibilang berambut lurus. Padahal sih memang agak ikal.
Sekarang baru nol kecil dan jarang masuk. 2 Agustus 2006 dia 5 tahun. Dia lebih suka ''bersekolah'' di luar ruang sekolah kakaknya, si Bunga itu. Sehari-hari agak kenes dai. Sukanya sama Barbie minta ampun. Pernah aku ajak nonton fashion show, eh tak mau pulang sebelum kelar. Padahal sampai jam 12 malam. Agaknya dia memang suka bergaya. Di rumah selalu memakai rok model Cinderella dan bersepatu hak tinggi, lalu lengak-lenggok sendiri.yang paling menyenangkan kalau dia menggambar. Menurutku sih agak kreatif. Ada ceritanya dan suka satu bidang gambar dipenuhi. Pernah dia menggambar sosok perempuan mirip Barbie dengan coretan-coretan kecil memenuhi semua bidang gambar, sehingga sosok itu seperti berada di dalam coretan-coretan itu. Dia bilang, ''Barbienya lagi berenang.'' Siapa yang sanggup menahan tawa? Setahuku, dalam cerita bikinan Mattel itu Barbie tak pernah berenang. atau jangan-jangan sekuel berikutnya ada yang begitu. tapi pasti berenangnya ya pakai bikini atau baju renang dong, masak pakai gaun pesta seperti gambar si Dara itu?
* Pindahan dari bungadara.blogspot.com
(Anak ini sekarang mau usia 6 tahun. Masih harus TK lagi. Jadi tiga tahun dia di TK. Juga banyak cerita lainnya. Nanti ya?)

Bunga Lili Liar



Namanya Elok Bunga Cahayasutra. Di rumah dia dipanggil Bunga. Teman SD, oh ya dia baru kelas satu, memanggilnya Elok. Tapi dia sempat marah-marah ketika dipanggil itu. Dia memang sedikit (atau banyak ya?) pemberang. Kadangkala setiap aku pulang, dan memandanginya, sepertinya aku sendiri agak kurang percaya telah memiliki anak sebesar itu. 17 April 2006, dia 7 tahun. Kesukaannya menonton Masquerade, itu lho tableau-tableau kreatif dari negerinya Kirei-san.


Sebagai anak sebenarnya dia manis juga. Tapi yang gak nguwati -gak tahan gitu loh- naluri pemberontakannya. Jangan-jangan dia bahagia kalau bisa menentang kata mama atau ayahnya. Sering sekali aku mengira dia benar-benar seperti bunga lili liar di semak-semak basah dan peperduan. Tapi lili bunganya cantik, kok.




* Pindahan dari bungadara.blogspot.com


(Anak ini sekarang kelas 3 SD, dan tentu ada kisah baru. Nanti ya?)

Sketsa Kadal-kadal

ada kadal. warna-warni. ungu, biru, hijau, magenta, violet, burgundi, maron. merayap-rayap di lantai showroommu. kau tertawa jenaka. lihat tingkah mereka. kau tertawa.lalu tersedak saat lihat kadal-kadal itu menjelma para lelaki. bermuka mesum dan nakal. bermata masam. tiba-tiba kau ingin menangkap mereka. menjadi koleksi. sebab, kau memang seorang kolektor. kau membayangkan dirimu mengoleksi para dinosaurus. reptil-reptil tua yang tak cuma bisa merayap. dan kau memang suka reptil. apalagi kau yakin, kadal tidak berbisa. tapi kau tak tahu, liur kadal itu menjijikkan. lalu perutmu mual. tak mau makan. kau kurus kering. kau ambil formalin. kau mengawetkan kadal-kadal itu. lalu kau bawa ke showroommu. bule-bule yang datang itu terpesona. eksotis, kata mereka. ini reptilia purbani, kata mereka. kau bilang, satu kadal seribu lima ratus euro. kau tertawa membayangkan lembaran devisa. dan bule-bule itu tak pernah tahu: kadal-kadal itu jelmaan lelaki nakal dan mesum. tapi kau pun tak tahu. sepulang bule-bule itu ke rumah mereka, keluarganya tak lagi mengenal mereka. keluarga mereka hanya melihat kadal berkulit albino.

* Pindahan dari bungadara.blogspot.com