28 Juli 2007

Cerita dari Hutan Batu

BAYANGKANLAH sebuah hutan. Pepohonan lebat, hijau, dan liar. Selalu ada misteri terserak di dalamnya. Bayangkanlah andai di hutan tersebut kelebatan, keliaran, dan kemisteriusan itu bukannya tercipta dari deretan pepohonan, melainkan batu-batu. Ya, batu-batu karsit hasil endapan ratusan juta tahun di dasar laut. Maka yang terpacak di benak adalah sebuah hutan batu. Dan itu bisa Anda temukan di distrik Lunan Yu, 120 kilometer di tenggara dari pusat kota Kunming, provinsi Yunnan, China. Orang China menyebutnya Shi Lin. Kita boleh memadankannya dengan istilah Hutan Batu, dan bagi turis internasional, ia biasa disebut Stone Forest.
Stone Forest berisi tonggak-tonggak batu karsit besar yang menurut penelitian telah berusia 270 juta tahun. Batuan tersebut terbentuk oleh proses sedimentasi dasar laut. Dengan begitu, kita bisa membayangkan bahwa tanah Shilin atau Lunan Yu di Provinsi Yunnan China tersebut dulunya adalah lautan.
Berdasarkan prasasti yang ada di lokasi dengan tulisan dalam huruf China dan terjemahannya dalam bahasa Inggris, disebutkan bahwa pada tahun 1931, Gubernur Yunnan yang bernama Long Yun berkunjung ke tempat tersebut dan terperangah oleh kedahsyatan bebatuan yang ada. Lalu dia menuliskan dua karakter China yang berbunyi Shi Lin atau Hutan Batu. Selanjutnya, inskripsi hasil tulisan tangan sang gubernur dipahatkan di salah satu batu di Da Shi Lin, sekaligus memberi nama loka tersebut.
Selama bertahun-tahun, Stone Forest telah menjadi objek wisata tang tak pernah sepi pengunjung. Apalagi memang begitu banyak kemudahan untuk pergi ke lokawisata yang sangat terkenal tersebut. Di Kunming misalnya, begitu banyak biro travel yang menawarkan wisata ke tempat eksotis itu. Apalagi, begitu banyak orang asing melewatkan liburan musim panas di kota tersebut.
Jumat (24 Juni 2005), bersama saya dalam satu mobil yang disediakan biro travel Kunming Camellia Hotel, ada pasangan Clay dan Anna dari Australia, Alban Molle dari Prancis, James Wangzhu dari Singapura, dan Chang Faiyuk orang Kanada keturunan China. Iini mirip perwisataan pelbagai bangsa. Jadinya perjalanan terasa mengasyikkan karena kami bisa saling berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Paling tidak, saya tak perlu merasa tengah mendengarkan sinetron Mandarin tanpa pernah tahu maknanya seperti telah beberapa hari saya alami ketika berada di dalam alat transportasi umum. Sekadar catatan, orang China terkenal suka mengobrol di bus atau kereta dengan langgam bahasa mereka yang cepat.
Dalam perjalanan, ketika saling mengobrol, tema kedahsyatan Stone Forest sudah bergaung. Meskipun kami baru mereka-reka berdasarkan informasi yang kami dengar atau baca, seolah-olah kami akan menuju ke suatu tempat yang menakjubkan di dunia. Ya, mobil berjalan melalui banyak Express Way atau jalan bebas hambatan sebelum memasuki areal pedesaan dan pebukitan Yunnan yang terkenal alamiah tersebut. Di kanan kiri kami, terbentang ladang-ladang sayuran dan bebuahan. Untuk orang dari Indonesia yang tak pernah melihat tanaman persik dan plum, pedesaan Yunnan memberi tambahan pengetahuan. Apalagi, di musim panas itu, kedua tanaman itu sedang berbuah.
Sekitar 4 kilometer sebelum lokasi Stone Forest, kami telah melihat bukit-bukit yang penuh dengan tonggak-tonggak batu. Dari kejauhan, lanskap tersebut lebih mirip pepuingan candi di areal yang sangat luas. Awal kekaguman kami sudah bermula dari situ. Sopir kami, orang China, yang bereaksi terhadap keheranan kami, mengucapkan kata-kata dalam Mandarin. James yang bisa berbahasa Mandarin menerjemahkannya untuk kami. Katanya, itu belum seberapa, karena luas areal Shi Lin atau Stone Forest sekitar 300 kilometer persegi. Alamak! Dan untuk wisata satu hari, paling-paling kami hanya bisa mengunjungi Daxiao Shi Lin (Hutan Batu yang besar dan kecil) saja.
Dari literatur yang saya baca, Stone Forest memiliki 7 titik lanskap. Enam lainnya adalah Naigu Shi Lin (Batu Hutan Hitam), Daxiao Zhiyun Dong (Gua Batu Zhiyun Besar dan Kecil), Chang Hu (Danau Persegi), Yue Hu (Danau Bulan), Qifeng Dong (Gua Batu Angin Keras), dan Da Dieshin (Air Terjun Besar).
Dan meskipun Anda hanya punya kesempatan mengunjungi Daxiao Shi Lin, tak perlu terlalu kecewa. Sebab, titik lanskapnya sendiri terbagi dalam banyak bagian yang menarik. Yakni, Shi Lin Hu (Danau Hutan Batu Besar) Da Shi Lin yang juga dinamakan Lizi Qing (Lembah Tanaman Plum), Xiao Shi Lin (Hutan Batu Kecil), Lizi Yuan (Perkebunan Plum), Shizi Ting (Paviliun Singa), Jiangfeng Chi (Kolam Ujung Pedang), Wangfeng Ting (Paviliun Menara Pandang), dan Lianhua Feng (Puncak Bunga Padma).
***
SAMPAILAH kami di lokasi. Di loket masuk, kami harus membayar tiket seharga 80 RMB Yuan (sekitar Rp 96 ribu). Pelajar atau mahasiswa boleh membayar 50 RMB Yuan dengan menunjukkan kartu pelajar. Sekadar catatan, banyak tempat khususnya museum di China menggratiskan tiket untuk mereka. Si Prancis Alban rupanya ingin mendapat keistimewaan itu. Saya melihat dia menyodorkan Carte d'Identité (KTP Prancis) miliknya sembari menyerahkan 50 RMB Yuan. Petugas di loket tak terlalu memeriksa dan menyerahkan tiket dengan harga tersebut. Saya bilang padanya, ''Tu es intelligent d'économiser ton argent, hein?'' (Cerdik betul kau mengirit uangmu, ya?) Alban hanya tertawa.
Beberapa pemandu yang kebanyakan gadis-gadis suku Sani dalam pakaian khas kaum Yi merubungi kami untuk menawarkan jasa. Kebanyakan dari mereka hanya tahu bahasa Mandarin dalam dialek setempat. Selain untuk James, tentu saja itu tak akan berarti buat kami. Akhirnya seorang pemandu yang mengaku bernama Inggris Lina (nama aslinya Ge Zhu Qing) mendatangi kami sembari meyakinkan bahwa hanya dia seorang di antara banyak pemandu di situ yang bisa berbahasa Inggris. Cukup murah harga yang ditawarkan. Hanya 80 RMB Yuan.
Maka, kami mulai berjalan. Dan agaknya, Stone Forest memang mirip butir-butir gula yang selalu dikerubut semut. Begitu banyak orang di situ: pewisata dari berbagai bangsa, juga orang China, para pedagang, pemandu, atau sopir angkutan khusus wisata di situ yang harganya 200 RMB Yuan untuk sekitar dua jam.
Situs pertama yang kami kunjungi adalah areal Da Shi Lin (Hutan Batu Besar). Lina dengan kefasihan Inggrisnya tak henti-hentinya memberi penjelasan. Di situs tersebut, berjubel orang mengagumi pilar-pilar batu besar yang seolah-olah menantang langit yang ketika itu bermatahari sangat menyengat. Para pengujung sibuk memotret, memegangi kekerasan batu-batu karsit tersebut. Banyak pula yang menyewa kostum Yi untuk sekadar berpose dengan latar belakang tonggak-tongak batu. Apalagi biayanya hanya 10 RMB Yuan sekali pakai.
Ya, berhenti di situs tersebut, saya membayangkan sebuah lanskap yang tak ubahnya sebuah hutan majal penuh pokok pepohonan besar yang terpotong-potong tanpa dedaunan. Hanya saja, pokok-pokok itu bukan kayu melainkan batu-batu karsit yang berusia ratusan juta tahun. Alangkah dahsyatnya! Dan itu baru awal perwisataan. Sebab, selanjutnya kami tak henti-henti dianugerahi gelimang keagungan alam yang memuaskan pandang.
Dari Da Shi Lin kami meniti trap-trap yang melingkar-lingkar, menanjak dan menurun, berjalan satu demi satu memasuki celah-celah sempit di antara tongak-tongak batu. Sampai di ujung menara pandang, kami harus berjalan begitu berjejalan saking banyaknya pengunjung. Dari atas menara tersebut, keluasan lanskap (paling tidak di areal Daxiao Shi Lin) terpampang dari berbagai sudut. Geremengan dalam pelbagai bahasa terdengar seperti bunyi ribuan lebah di situ. Dan hampir semuanya menguarkan kekaguman.
Masih banyak bagian yang harus kami kunjungi. Kami memang telah mulai merasa lelah. Tapi panduan Lina yang hampir selalu berbicara dalam nada riang sepanjang perjalanan, kesejukan udara di situ, serta keingintahuan kami untuk mengetahui lebih banyak lagi cukup membuat semangat kami tetap menyala.

***
DI Stone Forest, sepanjang menyusuri setiap celah batu, berhenti sesaat kreasi alam, pengunjung juga bakal disuguhi cerita di balik kemisteriusan bentuk bebatuannya. Menarik benar menyusuri setiap cerita yang seolah-olah terdedah dari bentuk sebuah batu. Apalagi pihak pengelola lokawisata membagi Stone Forest ke dalam bagian-bagian yang dibingkai dalam sebuah sekuel cerita.
Maka jangan heran, pada sebuah persimpangan trap, Anda akan menjumpai sebuah tengara batu yang menunjukkan arah ke suatu bagian dengan nama unik. Keunikan nama-nama tersebut merujuk pada bentuk batu yang diandalkan. Memang secara umum, penamaannya lebih banyak berasal dari penglihatan pada bentuk batu yang ‘’seolah-olah’’ mirip suatu bentuk. Beberapa nama yang telah saya sebutkan di bagian sebelumnya, sudah memberi bukti betapa uniknya penamaan bagian-bagian situs di Daxiao Shi Lin.
Beberapa diberi nama tanaman atau binatang. Sekali lagi, nama diberikan atas alasan kemiripan dengan rujukan benda nyatanya. Ambil contoh, batu yang diberi nama Dua Babi Bertarung, kalau dicermati puncak batunya memang sangat mirip dua kepala babi yang tengah mengadu moncong. Atau batu yang disebut Anggrek di Lembah Curam memang berada di bagian Stone Forest yang curam. Bentuk yang mirip bunga tersebut hanya bisa diamati dari sebuah puncak tangga bertrap. Begitu pula batu yang mirip burung merak, pohon cedar, kura-kura.
Saat Lina menjelaskan bentuk-bentuk batu tersebut, saya teringat Gua Akbar di Tuban. Di tempat yang disebut terakhir, memang banyak stalaktit dan stalagmit yang mirip bentuk binatang tertentu.
Di luar itu semua, cerita di balik batu semakin memesona ketika kita berhadapan misalnya dengan batu yang diberi nama Ibu dan Anak Tengah Berjalan-jalan. Bentuknya berupa dua tonggak batu besar yang kalau dipandang dari kejauhan memang mirip ibu yang tengah menggamit anaknya.
Apalagi Lina yang memandu kami cukup humoris orangnya. Ketika menjelaskan bentuk batu tersebut, dengan tertawa dia menunjuk beberapa batu lagi dan mengatakan, ‘’Itu suami si ibu. Kalau yang itu paman si anak, dan yang satunya sang kakek.’’
Boleh jadi Lina tak hanya tengah membanyol atau menyenangkan kami yang tengah dipandunya. Ketika sampai di batu yang disebut Perempuan yang Menunggu Suaminya, dia terlihat serius ketika memberi penjelasan. ‘’Anda lihat, dia seperti sangat bersedih dan penuh kepasrahan. Anda lihat bagian kepalanya? Itu sangat mirip dengan penutup kepala yang orang Sani pakai seperti saya. Dan bagi kami orang Sani di sini, batu-batu itu selalu menyimpan legenda dan membuat kaya budaya kami. Kami punya banyak cerita dari batu-batu itu.’’
Dia menyebut sebuah legenda orang Sani mengenai terjunnya seorang lelaki ke dalam api akibat cintanya tak bertaut dengan seorang gadis. ‘’Anda tadi melihat batu Puncak Api. Kami memercayai dari batu itulah legenda dilahirkan.’’
Aha, ketika itu saya teringat kisah kasih incest Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang lalu memunculkan legenda Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Sebuah legenda yang lahir dengan merujuk pada bentuk puncak gunung yang mirip perahu terbalik. Tapi memang, setiap tempat selalu menyimpan legendanya sendiri dan itu memperkaya khasanah budaya yang berada di lingkungannya. Dan diakui atau tidak, legenda-legenda tersebut sering kali membuat tempat yang sedahsyat Stone Forest menjadi sangat bermakna.
g Saroni Asikin
(Suara Merdeka, Jalan-jalan Juli 2005)

Tidak ada komentar: