28 Juli 2007

Film ''Berbagi Suami''

Halus tapi Menyengat

HAI para istri, ingin membagi suami Kalau ya, jangan tonton film Berbagi Suami karya dan sutradara Nia diNata yang diproduksi Kalyana Shira Film (rilis pertama 23 Maret lalu). Anda mengurungkan keinginan itu. Sebab, lewat film itu Nia begitu ''kejam'' menghujat perempuan dan laki-laki yang terlibat poligami.
Dia memang tak mengeluarkan umpatan penghujatan yang kasar. Bahkan, bahasa sinematografisnya cenderung mirip prosa liris. Sebagai penulis skenario, dia cukup jenius mengembangkan alur cerita yang sangat sederhana, banal, lurus tanpa liukan yang menjebak kerumitan penceritaan, sangat sehari-hari, dan asyik disimak. Apalagi dia merekatkan tiga cerita yang sebenarnya berbeda setting dan tokoh menjadi satu jalinan cukup rapi. Tokoh-tokoh itu bisa saling bertemu pada suatu situasi tanpa kesan sengaja dipertemukan.
Jadi, penonton tak perlu mengerutkan dahi mereka-reka hubungan antartokoh dan tetap merasa berada di dalam satu cerita. Untuk tema sekontroversial poligami, pengembangan cerita serupa itu menunjukkan kecerdasan tertentu seorang penulis skrip film. Nia tak memberi ribuan dalil dan konsep perpoligamian. Dia hanya bercerita tentang tiga perempuan dari kelas sosial dan suku berbeda, tetapi mengalami nasib serupa: terlibat poligami dan (selalu) hanya jadi sang korban ''kuasa'' lelaki.
Ketiga perempuan itu, Salma (Jajang C Noer), Siti (Shanty), dan Ming (Dominique A Diyose) memang menjadi fokus pengisahan. Salma, dokter kandungan yang telah hidup mapan pada suatu ketika harus menghadapi kenyataan bahwa Pak Haji (El Manik), suaminya telah punya istri lain bernama Indri (Nungky Kusumastuti). 10 tahun berlalu dan Salma belum sepenuhnya bisa berkompromi dengan poligami itu, muncul tokoh Ima (Atiqah Hasiolan), madunya yang kedua. Ketika dirinya merasa telah bisa menerima ''takdir'' itu, datang perempuan berikutnya (Laudya Cynthia Bella) di pusara pada saat pemakaman Pak Haji.
Siti, gadis Jawa polos, terpaksa melupakan cita-citanya karena Pak Lik (Lukman Sardi) mengawininya sebagai istri ketiga. Berbeda dengan Pak Haji, dua istri Pak Lik, Sri (Ria Irawan) dan Dwi (Rieke Diah Pitaloka) tak hanya merestui, keduanya malah memaksa Siti untuk menganggukkan kepala. Kedatangan Santi (Janna Karina S), istri keempat Pak Lik dari Aceh pun tanpa penolakan. Kisah lesbian Dwi dan Siti pada akhirnya membuat keduanya lari dari Pak Lik. Ming, gadis keturunan Tionghoa, selama beberapa waktu harus merahasiakan bahwa dirinya adalah istri muda Koh Abun (Tio Pakusadewo) dari Cik Linda (Ira Maya Sopha), sang istri tua. Padahal, hampir setiap hari mereka bersama, baik ke pasar atau di restoran bebek milik sang engkoh. Ketika terketahui, penolakan hebat pada status Ming muncul dari Cik Linda dan dua anak perempuannya. Ming akhirnya sendiri lagi ketika keluarga Koh Abun ke Amerika.
Seperti telah disebutkan, tuturan ceritanya begitu sederhana dan lurus. Memang ada suspens-suspens. Tapi agaknya dalam film itu, untuk sebuah kejutan, Nia lebih menyukai teknik pengambilan bersahaja tanpa snapshot berlebihan atau teknik zoom in. Contohnya, kemunculan sosok Ima sebagai istri ketiga Pak Haji hanya ditampilkan dengan gambar seorang perempuan muda berkacamata yang tercenung sedih di lobi ruang ICU tempat Pak Haji dirawat.

***
TAPI tuturan sederhana akan menjadi kisah yang kurang darah tanpa pengekplorasian gejolak psikologis, khususnya pada tokoh perempuan yang sedang bercerita. Nah, untuk itu, Nia memakai sudut pandang pengisahan ''keakuan'' (dengan teknik voice off atau VO) dari Salma, Siti, dan Ming. Sayangnya, menurut saya, teknik tersebut menjadi poin terlemah film Berbagi Suami, khususnya karena artikulasi yang agak cacat. Jajang yang bersuara serak dan cenderung cedal, Shanty yang aksen Jawanya dimedhok-medhok-kan, atau Ming yang suara kekanakannya sering kehilangan tonalitas artikulatifnya sedikit mengganggu penonton dalam menyimak kisah. Pada banyak adegan, VO itu seperti ''lenyap'' ditelan gambar yang tersaji. Untungnya, cacat kecil itu tertutupi banalitas dialog dan ekspresivitas akting para tokoh. Untuk soal itu, paling kuat fragmen Siti di mana dialog-dialog yang renyah terjadi di antara ketiga istri Pak Lik. Meskipun pada beberapa bagian, vokal Rieke sering terasa cempreng seperti suara ''Oneng'' pada sinetron Bajaj Bajuri. Namun, kepiawaian akting dan artikulasi mantap Ria Irawan patut diacungi jempol.
Irama adegan yang bagus dengan tempo cepat ikut menunjang hidupnya fragmen tersebut. Kalau harus diperbandingkan, beberapa bagian adegan pada fragmen Salma jadi terasa sangat lambat dan agak membosankan. Karena itu, mungkin akan lebih menarik bila fragmen Siti ditempatkan pada kisah pertama sebelum fragmen Salma sehingga awalan filmnya bakal mematri ketertarikan penonton. Pada fragmen Ming, kepiawaian berakting Tio Pakusadewo yang berperan sebagai orang Tionghoa jadi titik kuat. Ira Maya Sopha juga cukup ciamik berperan sebagai perempuan nyinyir. Sedikit kelemahan Dominique, khususnya pada tonalitas artikulasinya jadi tertutupi.
Editing yang digarap Yoga K Koesprapto juga patut diberi kredit bagus. Sentuhannya membuat film garapan Nia tidak monoton dan berirama liris. Patut diapresiasi pula kostum pemain yang didesain Tania Soeprapto. Ambil contoh, pakaian para istri Pak Lik yang beraksen sangat kuat dari sisi eksotika kaum urban di kota semetropolis Jakarta.
***
DI luar itu semua, kalau diringkas Berbagi Suami adalah kisah pergolakan batin tiga perempuan yang terlibat dalam poligami. Sebagai penulis skenario, Nia terlihat begitu antusias ''memakai'' ketiganya sebagai penyambung konsepsinya mengenai kecenderungan suami berbanyak istri. Jadi, kalau ditilik secara ekstrem, para suami seperti itulah sasaran bidiknya. Ada kecenderungan besar bahwa apapun alasannya, Nia tetap tidak setuju dengan cara Pak Haji, Pak Lik, dan Koh Abun.
Tapi sekali lagi, dia tak asal menghakimi. Dia masih memberi muatan bagus pada Pak Haji yang menyarankan Nadim (Winky Wiryawan), satu-satunya anak dari Salma agar dia hanya beristri seorang saja. Koh Abun pun digambarkan sebagai sosok yang sangat mencintai Ming dengan tulus dan tak ingin menjadikannya semata gundik. Hanya saja, pada Pak Lik, Nia seperti sangat kejam. Itu pun masih dengan ungkapan halus. Satu contoh, dialog batin yang diucapkan Siti: ''Pak Lik bagaikan sultan keraton dengan selir-selirnya. Dia tidak sadar virus penyakit kotor sudah menggerogoti kami semua.''
Halus tapi menyengat.
Jadi, tak ada sesuatu yang baguskah pada poligami? Film Nia menjawab, ''nothing but chaos''. Padahal, sebagai seorang suami, kalau boleh berangan-angan, saya ingin menjadi Pak Lik dengan istri-istri yang rukun serumah, tapi dengan kualitas lain. Dia tak otoriter, setulus Koh Abun, dan sekaya Pak Haji.
Karena itu, wahai para istri, kalau tak ada keinginan membagi suami dengan perempuan lain, tonton film itu, simak betul-betul, pastilah Nia diNata ada di pihak Anda.

g Saroni Asikin
(Suara Merdeka-Minggu, 26 Maret 2006)

Tidak ada komentar: