13 Juli 2007

Makhluk dari Mana Mereka?




UNTUK meramaikan sekaligus untuk lebih menyosialisasikan Midosuji Parade, panitia menggelar pre-event dan pasca-event untuk semua negara yang akan berparade. Untuk acara yang mengawali (7/10), Indonesia dibagi dalam tiga kelompok, yaitu Kabupaten Malinau, Greget Semarang, dan Kabupaten Banyuwangi. Masing-masing memiliki venue (tempat tampil) yang berbeda. Saya yang mengikuti aksi Kabupaten Malinau dan Greget melihat pelbagai reaksi orang Jepang menyaksikan ciri kultural yang memunculkan entitas tradisional kami di tengah-tengah wilayah kosmopolitan milik mereka. Selain keterpesonaan, saya melihat muka-muka dengan kening berkerenyit.
Di luar itu, saya juga melihat sebuah shock teraphy kultural bagi kosmopolitanisme mereka ketika misalnya kami dari Dayak Kenyah lengkap dengan busana khas beraksi menyusuri sebuah pertokoan mewah yang ramai orang di Tenjinbashi Shopping Arcade. Bukan hanya di venue, terapi kejutan itu telah bermula sejak kami keluar dari Mitsui Garden Hotel di Yodoyabashi dan ketika kami berdesak-desakan di dalam subway.
Coba Anda bayangkan serombongan gadis memakai rompi bermanik-manik membentuk ornamen ukiran khas Dayak dengan tangan menggenggam kipas bulu burung enggang berjalan menyusuri lorong-lorong yang diapit gedung-gedung tinggi. Tak ada rumah panggung dari kayu atau jalanan tanah atau kelebatan pepohonan seperti yang mungkin Anda bayangkan di tempat asal mereka di Kalimantan. Bersama mereka, sekelompok pria berpakaian bulu burung membawa mandau (pedang khas Dayak-red) dan tameng. Di kepala mereka, terpacak sebuah mahkota penuh ornamen dan bulu burung pula. Selain itu, lihat pula tato bermotif tertentu yang menghiasi tangan dan kaki mereka.
Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan orang-orang yang melihat kami dengan muka penuh tanya. Sesekali ada pula orang yang tampak takut sehingga segera memberi jarak ketika bersilang langkah dengan kami. Seolah-olah kami adalah serombongan makhluk asing yang hendak membuat ''persoalan'' di wilayah mereka. Meskipun begitu, ada pula yang sengaja berhenti dan dengan ponsel berkamera menjadikan kami objek fotografi yang menarik.
Keberagaman reaksi itu kami jumpai lebih banyak ketika berada di atas subway. Apalagi karena kereta penuh sesak, kami harus berhimpitan tubuh dengan penumpang lain. Secuek-cueknya mereka, keberadaan ''makhluk-makhluk asing'' itu tetap mengejutkan mereka. Tapi hanya muka-muka yang terkesan keheranan saja yang saya cermati. Tak seorang pun berusaha bertanya siapa kami sebenarnya. Sebenarnya beberapa dari kami pun mengalami semacam keterkejutan kultural tertentu. Wajar saja, khususnya para penari perang, mereka adalah orang-orang yang setiap hari tinggal di sekitar hutan yang setiap saatnya hanya akrab dengan pohon-pohon besar dan binatang liar.
Naik subway tentu saja sebuah pengalaman baru yang secara manusiawi pasti membuat gamang seseorang. Tapi syukurlah, kegamangan itu sirna begitu mereka harus mulai menyusuri lorong pertokoan mewah di Tenjinbashi itu. Dengan iringan sampe (gitar) dan kulintang, tarian Pabekah Tawai dan Perang Dance sukses mereka gelar. Apalagi sepanjang berjalan atau ketika beraksi di persimpangan lorong, orang-orang yang tengah berbelanja memberikan apresiasi yang bagus. Mereka berhenti, menonton, dan memberi tepuk tangan.

***

KALAU siangnya, orang Osaka terpesona, terheran-heran, dan bertepuk tangan untuk eksotisme Dayak, malam harinya di Osaka City Central Hall, mereka bereaksi serupa untuk eksotisme yang lain. Greget Semarang yang menampilkan tari tradisional Jawa dengan tari ''Pesisiran'' dan ''Satria Yaksa'' paling tidak memberi informasi bahwa Indonesia memang kaya etnis dan entitas budaya.

Tampil di gedung pertunjukkan megah, secara jujur kami yang dari Indonesia sempat cemas selama menyaksikan aksi panggung pelbagai bangsa di situ. Pasalnya, hampir semua negara menampilkan sajian yang bersifat kolosal. Padahal, dua tarian yang kami sajikan malam itu hanya dilakukan masing-masing oleh dua penari. Kecemasan itu berasal dari pikiran bahwa kami bakal ''kalah set'' dibandingkan penampil lain. Lebih-lebih lagi, Indonesia tampil di ujung acara.Lihat saja misalnya Shinkotoni Temburyujin dari Kota Sapporo (Jepang) yang memainkan atraksi tarian kolosal puluhan orang dengan keberagaman gerak dan permainan perkusi. Atau, aksi cantik akrobat dari Chang Jiang Delta Shanghai (China). Lihat pula bagaimana kelompok dari Reda National Folklore Dancing Troupe dari Mesir memainkan tarian rakyat mereka.

Namun, kecemasan itu sirna begitu ''Satria Yaksa'' purna dimainkan. Kami mendengar aplaus penonton yang memenuhi gedung tersebut, sama seperti yang diberikan kepada penampil lain. Bukti lain bahwa yang tak kolosal dan yang klasikal seperti sajian Satria Yaksa memiliki pesona tersendiri adalah keinginan salah seorang penanggung jawab Midosuji Parade 2006 untuk menampilkan tarian itu pada event lain. Meskipun masih berupa tawaran, tapi apresiasi seperti itu tetap membanggakan.

g Saroni Asikin

Tidak ada komentar: