15 Juli 2007

Mulut Angin

Cerpen Saroni Asikin

KAMU tak perlu memperlihatkan perasaan berdosamu pada ayahmu ini, Kain. Sudah sejak kamu dalam perut ibumu, aku tahu sudah: pertikaian tak henti-henti antarkeluarga kita bakal terjadi. Aku memang bukan peramal. Tapi aku tahu suatu hari kamu pasti akan mengepruk kepala Habel dengan batu lalu kamu tanam mayatnya di tanah pasir. Sebab, bila kamu tak membunuh adikmu itu, dia yang akan mengepruk kepalamu.
Maka, aku ayahmu hanya bisa berpesan: kamu tak perlu mencemaskan hidupmu bila suatu hari anak-turun Habel dan Iqlima akan memburumu, meminta kepalamu untuk mereka kepruk. Seperti halnya, aku pun tak perlu memikirkannya terlalu serius bila suatu hari anak-turun kamu bakal memburu anak-turunnya.
Tak sedihkah aku sebagai penurun manusia yang saling berbunuhan? Jangan tanya! Kesedihan itu sudah kuduga maka tak perlu lagi dipikirkan. Aku telah siap menyaksikan petaka itu selama hidupku. Mungkin selama 930 tahun(1) atau bahkan satu milenium. Sesiap ketika aku harus menerimamu keluar dari garba ibumu padahal aku tahu kamu itu...
Ah, tapi tidak, hai Lelaki Petani! Itu tak akan terjadi. Sekali lagi, ayahmu ini bukan peramal. Kau harus pergi dari tanah ini. Sekali lagi ini bukan hukum atasmu yang telah mengepruk kepala Habel. Ayahmu hanya berupaya mencegah pertikaian keluarga kita jadi semakin rumit. Pergilah, anakku! Ke tanah Nod. Di sana kau bisa bercocok tanam. Darah petanimu memungkinkan itu. Biarlah di sini tinggal keturunan Habel si penggembala ternak.
Ah ya, sebelum pergi kamu pasti penasaran mengapa ayahmu yang bukan peramal ini seperti tahu yang bakal terjadi. Aku akan menceritakannya kepada kamu, sekaligus sebagai buah tangan perpisahan kita. Sebelum pergi, kamu patut mengetahui cerita busuk keluarga kita. Cerita yang kusimpan dan memborok dalam hati. Cerita ini sekaligus akan mengurai alasan mengapa ada darah pembunuh dalam darahmu, mengapa kamu selalu diliputi kedengkian kepada saudaramu, dan mengapa kedengkianmu itu mengajak tanganmu mengambil batu dan mengeprukkannya pada kepala Habel. Ingat satu hal dulu: kamu membunuh dia tak semata karena Iqlima yang molek itu. Tak semata perempuan! Tak semata karena kamu iri pada adikmu yang mendapatkan Iqlima(2). Gadis cantik itu memang bukan milikmu. Kamu membunuh karena kamu memiliki kromosom darah iblis. Dan jangan kaget bila kukatakan itu semua berasal dari darah kotor ibumu yang kamu puja kecantikannya itu.
Sial sekali, Kain, aku harus menceritakan ini, membuka topeng laknat ibumu. Dan ini memang cerita tentang ibumu. Aku menceritakannya semata-mata hanya ingin kamu tak begitu gelisah dalam perjalanan kepergianmu dari tanah terkutuk ini. Agar kamu tahu asal darahmu.
***
TAMAN berkabut saat seekor ular merayap ke sebuah pohon apel yang tengah berbuah. Semerah puting, segar dan resam. Menggugah liur. Ular itu memelintir sebuah. Kelesik apel jatuh, berdebam di rumput. Si ular memburunya, membelit dengan tubuh lunaknya, membanting ke rumput, membanting ke batang pohon. Pecah berserpih-serpih. Rakus satwa bersisik itu menyesap-nyesap daging putih buah.
Hai Kain, ayahmu melihat semua itu dari jauh, dari balik sebatang persik, dengan hati pedih. Tak ada makhluk yang berhak atas buah dari pohon itu. Ada kesepakatan antara aku, ibumu dan pemilik taman untuk tak menyentuh pohon itu. Mendekat pun tak bisa. Tapi ular laknat itu telah semena-mena menikmatinya.
Dari balik pohon, ular itu mendesis panjang seolah-olah bersendawa kekenyangan. Ia lalu menari-nari, meliuk-likukkan tubuhnya dengan indah. Betapa girang betapa membuat jengkel ayahmu yang tak bisa mendekat ke situ. Ia terus menari. Dan ajaib, Hai Kain, ia tak lagi seekor ular. Ayahmu melihat seorang lelaki tampan bersandar pada batang apel itu. Sebelum ketakjuban ini hilang, lamat-lamat aku mendengar ia menyanyi. Lagu yang asing tapi sungguh merdu. Kuakui, merdu nian!
Tapi nyanyian itulah pangkal segala petaka keluarga kita. Ibumu yang ketika itu tengah tidur di kamarnya terbangun dan bersigegas menuju sumber nyanyian. Ayahmu bisa melihat nyala ketakjuban pada muka ibumu. Mula-mula dia berhenti di kejauhan, seperti ragu-ragu, menimang-nimang kesepakatan dengan kehendaknya untuk mendekat. Tapi ia memilih melanggar kesepakatan kami. Dan kun fayakun(3), maka jadilah segalanya, terjadilah apa yang selama ini tak terbayangkan oleh ayahmu.
''Indah benar suaramu. Lagu dari mana?''
Bedebah! Itu pertanyaan ibumu, bahkan tak menyadari bahwa di taman ini seharusnya tak ada orang asing selain kami berdua. Sudah ratusan tahun kami hidup tanpa bertemu satupun makhluk lain. Tapi ibumu dengan mantap mendekati lelaki itu dan bertanya dalam nada penuh kemanjaan yang memuakkan.
''Ini lagu dari surga. Mau kunyanyikan terus sembari menikmati apel segar dari pohon ini?''
Lelaki ular itu mulai merayunya. Ayahmu ingin mendekat, melabrak, kalau bisa mengepruk kepala lelaki ular itu dan menampar pipi ibumu. Tapi tidak! Ayahmu terlalu takut untuk mati. Si pemilik taman mengancam akan membunuh kami bila melanggar kesepakatan. Dan tak seperti ibumu yang terpedaya oleh lagu lelaki ular itu hingga melupakan ancaman kematian, ayahmu hanya memegangi batang persik dalam dada berkobar.
Dan, telanjur sudah, Kain, ibumu memakan apel itu. Si ular menyanyi terus. Kidung surga katanya. Tapi memang indah, kuakui. Lalu di depan mata ayahmu, ibumu terperangkap dalam pelukannya sebelum semua pakaiannya terlukar dan juga pakaian lelaki ular itu.
Mereka bersetubuh, Hai Kain, mereka bersetubuh, di depan mata ayahmu yang hanya gemetaran dalam dada berkobar dan tangan erat mengenggam batang persik. Ibumu terlihat begitu binal. Tapi pasti ia tidak tahu bahwa di tengah-tengah persetubuhan liar itu, ayahmu melihat seekor ular membeliti tubuh telanjang ibumu yang tergial-gial di atas rumput basah.
Ayahmu lalu pergi dengan kecamuk perang dalam dada. Dan sejak itu, ayahmu tak pernah lagi bisa tersenyum. Adapun ibumu sejak itu berubah menjadi perempuan yang sangat riang, penuh kemanjaan, dan binal di tempat tidur. Dia pikir ayahmu tak tahu kelicikan dan keculasan hatinya.
Dan tahukah kamu, Kain, setiap kali mendengar nyanyian dari pohon apel itu, ayahmu mengasah pedang. Tapi tak sekalipun mata pedang itu terlumuri darah. Seperti pernah kamu tanyakan suatu hari, ''Untuk apa ayah mengasah pedang itu selalu tanpa pernah ayah pakai?''
Barangkali ayahmu memang seorang pecundang. Dan ibumu perempuan dahsyat yang menyimpan kelicikan dan keculasannya dalam sunggingan senyum. Dan dari orang-orang seperti kami itulah keluarga kita dibangun. Bangunan rapuh.
Maka sudahlah, Kain, tak perlu marah. Ini harus kukatakan. Sebenarnya ayahmu sendiri tak begitu yakin. Kamu itu memiliki darah ular itu. Sekali lagi, ayahmu tak yakin benar memang bahwa kamu anak ular itu, juga Habel, juga Iqlima dan Tursina. Sebab, setelah percintaan kali pertama ibumu dengan lelaki ular itu, ayahmu tak pernah benar-benar bersenggama dengan ibumu.
Kamu mungkin ingin membantah: tidak mungkin manusia lahir dari sperma ular. Ya, memang tidak mungkin, makanya ayahmu pun tak begitu yakin. Tapi mungkin saja yang bersetubuh dengan ibumu bukanlah ular benar-benar, tapi seorang manusia seperti kita, seorang tukang sihir barangkali, yang selalu menyaru menjadi ular.
Puas? Kalau kamu masih menyimpan keragu-raguan, kamu boleh tidak memercayainya. Anggaplah cerita ayahmu ini hanyalah pengantar kepergiaanmu ke Tanah Nod. Kamu memang harus pergi, hanya untuk menghindari pertikaian tanpa henti antara anak-turunmu dengan anak-turun Habel. Anggap saja sebagai pelunasan atas ketelanjuran kamu mengepruk kepala Habel. Camkan, bukan sebuah hukuman, Kain sayang, hanya menghindari perseteruan tak henti-henti yang niscaya pada keluarga kita. Biarlah ayahmu menua di sini dalam hidup tanpa senyuman lagi...
''Apakah ular itu masih selalu datang?'' Kamu bertanya itu. Ayahmu tak perlu menjawab. Sebab kamu telah tahu jawabannya. Apalagi telah berkali-kali kamu menjumpai ayahmu mengasah pedang dan kamu meluncurkan pertanyaan yang sama.
***
JANGAN percaya bualan ayahmu, Hai Kain pembunuh Habel! Ratusan tahun ibumu telah hidup bersama ayahmu. Segala rahasia hatinya ada dalam hati ibumu ini. Kamu tak perlu pergi ke Tanah Nod. Kamu memang telah membunuh Habel dengan batu. Tapi kamu tak perlu membayarnya dengan pergi jauh. Ibumu ini sudah kehilangan Habel dan kamu akan pergi juga.
Ibumu akan merana. Bisa kamu bayangkan betapa pedihnya seorang perempuan hidup menua bersama lelaki tanpa senyuman seperti ayahmu itu. Lelaki pengecut seperti dia. Lelaki yang menutupi kelemahan dan kebusukan hatinya dengan mengasah pedang. Dia ingin kamu tahu dan memujanya sebagai pemberani. Padahal, pada seekor kecoak pun dia tak pernah bisa meremasnya.
Dia bilang ibumu ini sumber segala sumber darah iblis dalam darahmu, sumber segala seteru dalam keluarga kita. Nonsens, Hai Kain Petani yang gagal mempersembahkan panenan! Dari dialah mengalir napsu bengis dalam cara-cara pecundang. Adakah kamu mengepruk kepala Habel dari depan mukanya. Tidak, sama sekali tidak, Anakku malang! Kamu mengepruknya dari belakang selagi dia lengah. Itu cara pengecut! Dan itu darah ayahmu yang suka mengasah pedang ketika mendengar desisan ular. Tapi, meski kamu warisi darah kepengecutannya, ibumu tak mau kamu pergi ke Nod setelah kematian Habel. Ibumu akan mati menua karena kepedihan hidup dengan lelaki seperti ayahmu.
Dan ini cerita sebenarnya tentang ular yang kata ayahmu menjelma lelaki tampan yang menggoda berahi ibumu. Taik! Tak ada lelaki tampan! Tak ada cerita ibumu melanggar kesepakatan memakan buah apel di taman itu. Tak ada nyanyian surgawi yang menyeret ibumu dalam pelukan lelaki tampan jelmaan ular. Itu mitos yang sengaja dibuat ayahmu yang pecundang itu. Biar kamu percaya bahwa semua khayalannya itu benar. Biar kamu tak tahu rahasia culas apakah yang dia simpan.
Suatu hari ibumu memang melihat seekor ular melingkar di satu cabang pohon apel itu. Warnanya hijau, sehijau dedaunannya. Andai saja ibumu tak melihat riap cahaya dari dua matanya, ibumu tak akan pernah tahu bahwa yang melingkar itu seekor ular. Apalagi ibumu tak pernah berani mendekati pohon yang telah dilarang pemilik taman untuk didekati.
Dalam jarak saling berjauhan, ibumu dan ular itu bersipandang. Ibumu hanya merasa betapa indah dan lucu ular itu. Hijau dan matanya memendarkan nyala yang riang. Hanya sebatas itu, tak lebih. Tapi itu tak lama. Dalam sekejap bias cahaya di mata ular itu berubah merah menyala. Nyala kebengisan dan keculasan. Dan tahukah kamu, Kain, nyala itu nyala mata ayahmu setiap kali dia bersenggama dengan ibu dalam cara-cara yang kasar. Seolah-olah tubuh ibumu ini hanyalah daging mentah pemuas kelaparan berahinya. Derita yang ibumu pendam sekian ratus tahun hingga lahir Tursina, istrimu yang buruk muka itu. Sejak Tursina lahir, ibumu tak mau lagi melayani daging berahi ayahmu. Lalu lelaki pecundang itu selalu mengasah pedang dan menakut-nakuti ibumu. Ketika kamu bertanya kali pertama, maka mulailah dia menyusun cerita yang telah didedahkan buat kamu.
Betapa memalukan! Bukankah itu pula yang kamu lakukan usai mengepruk Habelku yang tampan? Kamu bercerita bahwa Habel dimakan singa saat mempertahankan ternaknya. Taiklah kalian berdua. Walau begitu, Kain, janganlah pergi! Nod hanya akan membuatmu terus diburu Habel yang malang. Tetap tinggallah di sini. Kamu bisa menebus dosa pembunuhanmu dengan menemani ketuaan ibumu.
***
PADA akhirnya lelaki pembunuh Habel itu memang tak pergi ke Nod(4). Suatu malam, dengan marah dia mengasah pedang ayahnya. Tajam-tajam. Lalu dia lari ke tengah taman dan pohon apel itu diamuknya dalam berahi kemarahan. Buah-buah apel yang ranum berguguran ke tanah berumput basah. Ular yang ketika itu masih melingkari salah satu batangnya tercacah dalam sekian potongan.
Kain betapa kalapnya! Tak sebatang kecil ranting pun dia sisakan. Dia cacah-cacah. Juga apel-apel yang berserakan itu. Dalam kepalanya dia merasa tengah mencacah-cacah kepala dan tubuh ayahnya, ibunya, Iqlima dan Tursina dan anak-anak yang keluar dari garba perempuan buruk muka yang terpaksa dikawininya itu. Ketika itu pula, dia merangkai-rangkai cerita untuk dibeberkan kepada semua orang dalam keluarganya: bahwa dengan mata kepalanya sendiri roh Habel yang marah mencuri pedang ayahnya dan menjadikan pohon apel itu sebagai pelampiasan.
Dia akan bilang kepada semua orang: ''Awas! Hati-hati! Bisa-bisa Habel membunuh kita semua dengan cara sesadis dia mencincang pohon apel. Tapi tentu saja dia tak akan berani mendekatiku dengan pedang itu. Paling sial dia hanya akan menelikung aku dari belakang dan mengepruk kepalaku dengan batu yang telah kukeprukkan pada kepalanya.''(*)
Semarang, 5 Agustus 2003

Catatan:
(1) Lihat Kitab Kejadian 5:5.
(2) Seorang kiai pernah bercerita bahwa sesama anak Adam dan Hawa dikawinkan dengan cara bersilangan. Artinya, anak lelaki tak bisa mengawini adik perempuan langsungnya, tapi harus diseling adik lainnya. Kiai itu bercerita bahwa Iqlima itu adik langsung Qabil (dalam cerpen ini saya lebih suka memakai nama Kain seperti yang ada dalam Kitab Perjanjian Lama) yang dikawini Habil (atau Habel).
(3) Kalimat yang berasal dari Alqur’an Surat Yasin.
(4) Sebagai perbandingan, lihat Kitab Kejadian 4:16.
* Pernah dimuat di Suara Merdeka

Tidak ada komentar: