SUDAH jadi rahasia umum, biaya hidup di Jepang begitu tinggi. Harga-harga barang pun, ampun deh mahal banget. Jepang, khususnya Tokyo, seolah-olah bukan tempat turis udik yang kantongnya tipis. Padahal, pada hampir setiap sudut di kota-kota Jepang terdapat suatu kawasan yang disebut syotengai atau semacam kompleks pertokoan yang biasanya menempati sebuah jalan superlurus (suji).
Dan seperti sudah disebut, harga barang di situ sepertinya hanya disukai orang berkantong tebal. Gambaran serupa itu juga terjumpai di Osaka yang merupakan kota kedua setelah Tokyo. Tapi tak usah terlalu merisaukan perihal mahalnya barang. Bila berkesempatan datang ke kota tersebut, Anda (yang tentu saja dompetnya tak tebal benar) tetap punya kesempatan berbelanja. Tentu pula Anda harus rela bila tak mendapat barang idaman. Sekadar buat oleh-oleh teman, kalau beruntung Anda akan beroleh suvenir yang layak diberikan.Pada sudut-sudut jalan tertentu, juga di syotengai, ada sebuah toko yang memasang label untuk semua barangnya seharga 100 Yen (setara Rp 8.000). Barang yang dijajakan begitu beragam, mulai dari makanan ringan, nasi dan lauk kalengan, minuman, alat-alat tulis, alat dapur, hingga suvenir ''pantas oleh-oleh''. Barangkali kalau di sini, itu mirip istilah ''serbu'' atau serba-lima ribu yang ada pada gerai supermarket. Bedanya barangkali hanya soal variasi barangnya.
Memberi label 100 Yen juga merupakan strategi marketing yang cerdas. Apa pasal? Memang sebagian besar barang dengan beragam jenis memiliki harga sama. Tapi, selalu saja ada beberapa barang yang diberi label harga lebih tinggi. Jadi, di toko atau gerai seperti itu, ambil barang sesuka Anda, lalu hitung jumlah yang harus Anda bayar dengan mengalikan 100 plus 5 untuk pajak setiap barang (beberapa toko serupa tak membebani pajak sebesar 5 persen). Nah, kalau barang yang Anda ambil berlabel harga, maka pasti harganya seperti yang tertera plus pajak 5 persen.Ada informasi yang menyebut bahwa sebagian besar orang Jepang memiliki gengsi yang tinggi, khususnya dalam hal lifestyle. Maukah mereka datang ke toko itu? Sudah pasti. Beberapa kali datang bersama rombongan untuk mencari barang kebutuhan sehari-hari di toko-toko 100 Yen, saya hampir selalu melihat orang-orang Jepang yang membeli sesuatu di situ. Paling sering adalah makanan ringan dan minuman.
Wulan, seorang staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Osaka, yang beberapa kali mengantar kami ke toko seperti itu, menginformasikan pula bahwa toko 100 Yen sangat populer. Tak hanya bagi orang Jepang, popularitasnya merambah negeri jiran. ''Orang China dan Korea pun acap datang ke Jepang hanya untuk membeli barang-barang yang ada di 'toko seratusan' itu. Toko ini sudah sangat populer. Orang Jepang pun tak gengsi-gengsi amat. Yang penting kalau ada barang yang sesuai untuk kebutuhan, mereka ke sini,'' ujar perempuan asal Banyuwangi yang telah 10 tahun menetap di Osaka bersama suaminya yang Jepang asli itu.Jadi, kalau mereka tak malu, kenapa kita yang kebetulan tipis uang sakunya harus malu ke situ? Meskipun sebagian barang yang dijajakan diimpor dari China, toh kalau beruntung kita bisa mendapat barang yang khas Jepang. Sebut misalnya, roti Dorayaki (roti yang dipopulerkan lewat film kartun Doraemon), atau boneka kecil berfigur orang Jepang memakai kimono.
g Saroni Asikin
* Dimuat dalam rubrik Jalan-jalan Suara Merdeka, 29 Oktober 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar