Andai lelaki itu bukan seorang kasim, seseorang yang telah dikebiri, dan semua kapten kapalnya bukan kasim pula, maka para pejabat terpelajar konfusian tak akan marah dan menganggap menjelajah ke banyak negeri sebagai pengkhianatan terhadap ajaran konfusianisme. Andai Kaisar Zhu Gaozhi, pengganti Yong Le, tak terpengaruh kekuatan politik kaum konfusian itu, maka ekspedisi ketujuh bisa berjalan mulus dan tak akan terjadi penghancuran catatan permuhibahan berikut galangan kapal di Longjian. Andai tak ada penghancuran itu, maka kebesaran China di bidang maritim yang meneguhkan nama Laksamana Cheng Ho sebagai sang pionir akan bergaung ke seluruh dunia. Andai tak ada penghancuran itu, kita akan bisa membaca Cheng Ho dan ekspedisinya secara benar dan proporsional.
Tapi sejarah tak bisa diandaikan. Barangkali memang Cheng Ho bukan sosok besar yang dimanjakan sejarah. Ketakutan kaum konfusian terhadap dominasi kekuatan kaum kasim -kaum yang mereka anggap tidak bermoral- telah memengaruhi seorang kaisar dengan tanpa beban menghancurkan semua keberhasilan ekspedisi. Akibatnya kebesaran China khususnya di bidang maritim seperti tak berjejak. Akibat paling buruk dari kekuatan pengaruh kaum konfusian tersebut adalah terisolasinya China sekian abad dari percaturan dunia.Jadi, segala cerita mengenai kebesaran dan kegegapgempitaan ekspedisi Cheng Ho hampir mirip kisah fiksi karena sangat sedikitnya bukti yang ada. Cukup ironis, memang. Betapa tidak ironis, tak banyak catatan tertulis yang menceritakannya. Sekadar contoh, catatan Ma Huan dan Fei Xin. Bahkan untuk mengenali kapal dan teknologi pembuatannya pun hanya kita peroleh dari puing-puing yang digali, misalnya di Zhong Baocun Nanjing. Hasil penggalian selama 1 tahun (2003-2004) oleh Pemerintah Kota Nanjing pun hanya berhasil menemukan Dok No 6. Semua itu kini bisa dilihat di Museum Seni di kompleks Chaotian Palace. Menurut catatan di museum tersebut, masih tersisa tiga dok yang belum digali pada areal sekitar 25 ribu meter persegi.Kalau ingin melihat beberapa benda yang diperoleh selama ekspedisi, kita harus pergi ke Kunyang di Provinsi Yunnan, tepatnya ke Museum Cheng Ho di areal Zheng He Guoyuan. Benda-benda yang masih tersisa pun tak banyak. Hanya ada rempah-rempah yang diperoleh selama permuhibahan, keramik, jubah, topi, dan pedang.
***
MELIHAT kenyataan itu, betapa pentingnya puing-puing yang digali dari Zhong Baocun. Penempatan benda-benda yang ditemukan pada sebuah bangunan khusus di Museum Seni kompleks Chaotian Palace pun berguna bagi studi lebih lanjut mengenai teknologi perkapalan yang dikembangkan Cheng Ho semasa Dinasti Ming.
Bangunan tersebut dinaungi dua pohon eks besar. Begitu memasuki pelatarannya, pengunjung telah bisa melihat gambar-gambar mengenai ekspedisi Cheng Ho pada dinding luar. Masih di luar bangunan, pada sisi kanan terdapat beberapa batang kayu besar berwarna hitam. Dilihat sekilas, batangan kayu itu mengesankan ketuaan. Di antara kayu-kayu tersebut terdapat dua batang kayu yang dipersiapkan sebagai anjungan kapal. Panjangnya 10,1 meter dan 11 meter dengan berat mencapai satu ton. Pihak Nanjing Municipal Museum menganggap penemuan dua kayu itu sebagai penemuan luar biasa. Sebab, kita bisa melihat skala sebuah kapal yang disebut ''kapal berharga'' dari zaman Ming. Sayang sekali Gao Qin yang memandu selama liputan saya tak mengetahui jenis kayunya. Selain itu, di museum tersebut juga tak ada catatan mengenai jenis kayu yang dibuat kapal oleh Cheng Ho.
Masuk ke dalam ruangan, pengunjung akan melihat sebuah jangkar yang telah berkarat. Di kanan kirinya terdapat berbagai jenis peralatan pembuatan kapal seperti kapak, tatah, gergaji, kikir, palu kayu, dan alat penyiku. Begitu pula ada banyak jenis temali, dayung, tiang kapal, beberapa meteran dari kayu yang disebut ''wei jia qing ji'', serta ratusan pasak dalam beragam bentuk yang terbuat dari logam dan kayu.Selain benda-benda tersebut, terdapat berbagai banyak peralatan yang dipakai selama pembuatan kapal. Menariknya, di situ disebutkan bahwa peralatan dapur yang paling banyak dipakai adalah mangkuk, piring, dan guci yang memiliki desain berbeda dengan umumnya barang pecah belah pada masa awal dan tengah Dinasti Ming,yangberarti pada zaman Cheng Ho bereskpedisi. Pada semua benda pecah belah itu terdapat tulisan berhuruf China dari tinta yang berbunyi ''zhou'', ''li'' dan ''xu'' yang kondisinya masih sangat bagus. Benda lain yang ditemukan dalam kondisi bagus adalah sepasang sepatu dari serat palma berukuran 27,3 sentimeter. Itu sepatu yang dipakai awak kapal.Apa yang tersimpan di museum tersebut memang baru menguak sedikit mengenai aktivitas pembuatan kapal. Namun, nilainya tetap sangat berharga, khususnya bagi studi sejarah perkapalan pada zaman Dinasti Ming. Dari situ pula, terbaca peran Cheng Ho selama masa persiapan ekspedisi.
Berbeda dengan museum tersebut, yang tersimpan di dalam Museum Cheng Ho di Kunyang adalah benda-benda yang diperoleh selama ekspedisi. Meskipun tak banyak, dan memang tak terbaca asal-usulnya perolehannya, keberadaan benda-benda tersebut tak bisa dimungkiri keberartiannya. Di dalam museum, selain maket mengenai rute pelayaran Cheng Ho dan beberapa patung Sang Laksamana terdapat beberapa keramik yang tak utuh lagi. Begitu pula pada satu etalase terdapat beberapa piring yang berisi rempah-rempah seperti pala, kemiri, cengkeh, garam, kayu manis, lada hitam, dan beberapa lainnya. Boleh dibayangkan, rempah-rempah itu kemungkinan besar diperoleh dari wilayah tropis. Selain itu, pada ruang yang terpisah, terdapat beberapa benda yang dipakai para awak kapal seperti jubah, topi, pedang, dan mahkota. Di ruang tersebut terpajang pula beberapa lukisan yang menceritakan interaksi Cheng Ho dan awak kapalnya dengan penduduk yang disinggahi kapal mereka. Ada lukisan yang memperlihatkan Cheng Ho dan seorang asistennya tengah bercakap-cakap dengan seseorang yang memakai jubah dan turban, sementara di sekitar mereka terdapat berbagai jenis gubi dan barang persembahan. Boleh jadi itu gambaran ketika armada Cheng Ho singgah di Kalikut, India. Ada pula lukisan yang menceritakan permuhibahan Cheng Ho ke bumi Afrika. Di situ, Cheng Ho beserta beberapa pengiringnya disambut dengan ramah oleh orang-orang berkulit hitam. Sambutan penuh persahabatan itu bisa dilihat misalnya bagaimana Cheng Ho dipayungi payung kebesaran warna kuning dan dia terlihat berbincang-bincang penuh keceriaan dengan seorang kulit hitam yang memakai mahkota.
Selain dua lukisan tersebut, sebuah lukisan yang sangat menarik buat saya. Pada lukisan itu, Cheng Ho bersama beberapa pengiringnya duduk di sebuah ruangan (mirip sebuah paseban kerajaan) tengah menikmati tarian tiga perempuan. Ketertarikan saya terutama pada para penari berkostum laiknya para penari Bali ketika menari Jangger atau Legong. Di bawah lukisan tersebut terdapat tulisan China dan angka latin 1410. Sayang sekali, tak ada pemandu atau orang yang bisa saya tanyai ketika berada di situ. Boleh jadi angka itu menunjukkan tahun peristiwa yang dilukiskan. Dan kalau melihat kostum penari yang saya bayangkan mirip penari Bali tersebut, saya membayangkan peristiwa dalam lukisan itu terjadi di Majapahit. Kita tahu pengaruh kebudayaan Majapahit begitu kental terasa di Bali. Dan kalau sepakat dengan asumsi bahwa Jawa disinggahi enam kali (selain ekspedisi keenam), maka kemungkinan peristiwa itu terjadi pada muhibah ketiga (1409-1411).
Jadi memang tak begitu banyak benda yang ditinggalkan oleh cerita besar ekspedisi Cheng Ho. Itu menjelaskan, bahwa politik, seperti yang dimainkan pejabat konfusian pada zaman Cheng Ho, sering benar begitu kejam mengubah alur sejarah atau bahkan menguburkannya. Bayangkan, untuk armada permuhibahan klasik dengan kekuatan lebih dari 300 kapal dan melibatkan hampir 30 orang, hanya bisa dilihat jejak-jejak artefaknya dari penggalian puing-puing sebuah dok.
Ya, Cheng Ho barangkali memang bukan sosok yang dimanja sejarah, atau bukan tokoh yang disukai sosok-sosok sejarah pada zamannya. Tapi siapa bisa menyangkal kebesaran namanya?
g Saroni Asikin
* Dimuat dalam Suplemen Cheng Ho Suara Merdeka, Agustus 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar