DI Beijing Capital International Airport 18 Juni 2005, sembari menunggu pesawat ke Nanjing, saya masuk ke kabin untuk perokok. Sudah banyak orang di situ, lagi asyik mengisap rokok. Dari wajah dan bahasa yang mereka pakai untuk bercakap-cakap, pastilah mereka orang China. Tak ada yang istimewa memang selain asap dan obrolan cepat dengan selingan tawa.
Pada satu bagian, empat orang duduk memutari satu meja. Seseorang mengeluarkan sebungkus rokok, mengambil isinya dan membagi-bagikannya pada yang lain. Saya menganggap hal itu sangat biasa. Sebab, kita pun punya kebiasaan berbagi rokok.
Ketika di Nanjing, barulah saya tahu, membagi rokok adalah medium sopan santun sekaligus sinyal untuk jalinan komunikasi yang lebih akrab.
Begini ceritanya. Dao Xian, sopir yang mengantar perjalanan liputan saya di Nanjing mendadak mengeluarkan dua batang rokok dari bungkusnya dan menyodori saya sebatang ketika menunggu pesanan makan siang kami tiba. Saya berusaha menolak karena saya pikir itu semata basa-basi seperti umumnya dilakukan di Indonesia. Lagi pula, saya punya rokok sendiri. Tapi Gao Qin, penerjemah yang menemani perjalanan liputan saya, segera menyergah. Dia meminta saya untuk menerimanya.
''Itu tanda keakraban. Kau tahu, di China, kalau seseorang telah melakukan hal sama dalam beberapa saat, membagi rokok adalah keharusan. Apalagi dia tahu kamu merokok. Itu etiket kami,'' ujar gadis yang memiliki panggilan Inggris Meggy tersebut.Saya tertawa dan buru-buru menerima rokok yang disodorkan Dao Xian sembari berucap, ''Xiexie.''
Jadi sebatang rokok adalah juga sebuah salam pertemanan, atau sekadar sopan santun, bahkan kepada orang yang sama sekali tak diketahui namanya. Pengalaman lain membuktikan hal tersebut.
Di Kunyang Town selepas kunjungan ke Zheng He Guoyuan (Taman Cheng Ho), bersama banyak orang saya menunggu bus yang akan membawa kami ke Kota Kunming. Pintu bus memang baru dibuka sesaat sebelum jam pemberangkatan. Maka, para penumpang harus duduk dulu di kursi-kursi yang berada di halte tunggu. Saya mengambil tempat duduk agak jauh dari para penumpang lain. Hanya seorang lelaki muda yang berada di samping saya. Saya bertanya padanya apakah dia bisa berbahasa Inggris. Ketika dia menggeleng, maka dengan bahasa isyarat saya menunjuk bus yang terparkir untuk memastikan apakah bus itu yang akan ke Kunming. Dia mengangguk.
Pada saat dia hendak merokok yang kali kedua, dua batang rokok disodorkan pada saya. Saya tersenyum sembari menerima sebatang. Sebagai balasan, saya menyalakan rokoknya. Hanya begitu sebab kami tak lagi bercakap-cakap karena persoalan bahasa. Tapi sebatang rokok itu sangat berarti bagi orang asing di tempat asing seperti saya. Selanjutnya, kebiasaan saling membagi rokok memang saya jumpai di banyak tempat di China.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar