13 Juli 2007

Si Kecil Ma He dan Inspirasi dari Makkah







DI atas kolam taman Museum Cheng Ho dalam areal Zheng He Guoyuan di Kunyang, Yunnan, China, Ma He alias Cheng Ho kecil dengan saksama memperhatikan kapal mainan yang tengah dipegang ayahnya Haji Ma. Pada bagian lain di taman tersebut, Ma He yang memegang kapal mainan tampak serius mendengar kisah pelayaran dari Sang Kakek. Turban di kepala Sang kakek mencirikan dirinya sebagai orang Suku Hui yang beragama Islam.


Dua cerita kecil itu memang hanya sebuah diorama dalam bentuk patung yang sengaja dibuat demi melengkapi areal museum. Namun, bila pengunjung berusaha membayangkan bagaimana Cheng Ho mengarungi laut demi laut dengan kapal besar pada awal abad ke-15, cerita di balik diorama itulah titik mula segalanya.


Ya, ketika kecil, Ma He kerap mendengar kisah pelayaran keluarganya ke Makkah untuk berhaji. Nama Ma He yang diberikan keluarganya konon dihubungk-hubungkan dengan nama Muhammad, rasul pembawa Islam. Dan di antara banyak suku di China ketika itu, orang Hui umumnya beragama Islam. Mereka rata-rata keturunan dari perkawinan campuran Turki dan Mongolia. Si kecil Ma He tentu saja tak pernah melihat laut. Laut dalam benak anak yang lahir di Kunyang tahun 1371 itu tentu saja semata impian kanak-kanak, dua tahun setelah Dinasti Ming yang benci orang Mongolia berdiri. Impian itu barangkali hanya bisa terwujud bila ia menempuh perjalanan darat beribu-ribu mil jauhnya ke arah tenggara untuk bertemu Laut China Selatan. Sungguh sebuah impian musykil! Apalagi keluarganya tidak kaya.


Dan impian itu semakin terasa musykil ketika sang ayah mati dalam peperangan antara sisa-sisa balatentara Dinasti Yuan melawan calon penguasa China yang baru dari Dinasti Ming. Dan pada usia begitu belia, 10 tahun, Ma He telah menjadi anak yatim. Nasib masih belum berpihak kepadanya ketika bersama anak-anak lain dia dibawa paksa ke Nanjing, ke Pusat Kota Selatan yang menjadi pusat tahta dinasti baru tersebut. Dewi Fortuna masih terus menjauh ketika ia dijadikan pelayan dan dikasimkan. Ya, dia dikebiri dan masa depannya hanya diformat sebagai sida-sida kalangan istana. Sebagai kasim pelayan, kesetiaannya bagaikan kuda terhadap pemiliknya. Apalagi dia dikenal sebagai seorang remaja yang kuat dan pemberani. Pangeran Zhu Di, putra keempat dari 26 putra kaisar begitu menyukai kualitas sang lelaki kasim itu. Mereka begitu dekat. Dan ketika sang pangeran menjadi kaisar bergelar Yong Le, posisinya melambung. Dia sempat menjadi pemimpin militer. Dalam satu peperangan, kuda Ma He mati di Zhengluba dan untuk mengingatkannya Yong Le memberi nama baru Zheng He. Nama lama Ma yang berarti ''kuda'' menurut sang kaisar tak layak disandang orang kesayangannya itu.Sang kaisar dikenal sebagai sosok yang ambisius terhadap segala hal yang berkenaan dengan pencarian akan keagungan. Dia sangat ingin kejayaan, peradaban, dan kualitas orang China didengar dan diakui banyak negeri di seberang lautan. Dia ingin memiliki utusan permuhibahan ke banyak negeri dengan mengarungi lautan.


Tahun 1402, dia memerintah Zheng He (kita sebut saja dengan ejaan Cheng Ho-Red) untuk membuat kapal. Di Nanjing, pembuatan kapal permuhibahan itu dimulai. Dalam versi novel Sam Po Kong (2004) karya Remy Sylado, rencana sang kaisar itu mendapat tentangan keras dari Menteri Ekonomi dan Keuangan Liu Ta Xia. Rencana itu dianggap sangat memboroskan harta kerajaan.Setelah tiga tahun kerja keras di Galangan Kapal Longjiang, Nanjing, tak tanggung-tanggung 62 kapal selesai dibuat. Empat di antaranya adalah kapal superbesar yang bahkan tak tertandingi oleh kapal penjelajah Eropa seperti Christhoporus Colombus, Bartolomeu Diaz, ataupun Ferdinand Magelhaens.Maka lelaki yang selalu digambarkan tinggi besar dan tampan, berdaun telinga panjang dengan mata tajam dan kulit yang sedikit kasar seperti permukaan sebuah jeruk siap mengarungi lautan menuju negeri-negeri di bagian barat China. Kapal-kapal yang telah jadi dibawa ke pelabuhan terdekat di Liujia Taicang, kota pantai 40 kilometer dari Shanghai. Seluruh kru berkumpul di Kuil Jinghai, Taicang untuk berdoa pada Tianfei, dewi kaum Tao pelindung laut. Setelah berdoa, kapal-kapal mulai bergerak menyusuri Teluk Liu menuju Sungai Yangtse sebelum sampai di laut lepas. Pertaruhan




***


BERDASARKAN banyak catatan, saat itu adalah musim panas bulan Juli yang hangat tahun 1405. Pertaruhan Cheng Ho sebagai pemimpin tertinggi pelayaran sejak itu pula mulai digantungkan pada ombak lautan. Cheng Ho tak hanya sedang mempertaruhkan namanya, tapi juga nama sang kaisar Yong Le, serta kejayaan dan ketinggian peradaban China. Dia harus membuktikan bahwa biaya permuhibahan laut itu tak semata penghamburan uang kerajaan seperti yang dikampanyekan beberapa pejabat kerajaan yang tak sepakat. Dia juga harus membutikan diri bahwa para kasim (kapten tiap kapal memang orang kasim) yang dibenci intelektual taois dapat pula melakukan sesuatu demi nama kerajaan.


Ya, Cheng Ho mampu membayar kepercayaan sang kaisar. Satu kebesaran yang banyak dipujikan sejarawan adalah bahwa ekspedisi itu memang bukan untuk dirinya. Semuanya semata demi kaisar dan China. Itu agak berbeda dengan para ekspeditor Eropa setelah dia yang menangguk banyak keuntungan pribadi. Kalau benar apa yang banyak disebut orang bahwa dia mati di tengah laut, maka bisa dibayangkan ia tak sempat menikmati upaya besarnya selama 28 tahun berekspedisi. Ironisnya, konon jasadnya pun tak bisa disatukan dengan alat kelaminnya yang disimpan di guci setelah proses pengebirian. Dalam tradisi China, orang kasim yang mati, jasadnya disatukan kembali dengan alat genital yang telah dipotong. Kalau semacam itu, betapa tragisnya akhir hidup orang besar itu.


Seolah-olah itu semua tak sepadan prestasinya selama permuhibahan. Louise Levathes dalam When China Ruled the Seas:The Treasure Fleet of the Dragon Throne, 1405-1433 (1997) menulis mengenai keberhasilan Cheng Ho dalam 7 ekspedisinya (ada yang menyebut dia hanya terlibat dalam enam kali saja, sebab pada ekspedisi kedua, hanya krunya yang berangkat sementara dia berada di Nanjing). Dia bukan hanya seorang navigator hebat, tapi juga laksamana perang yang andal, pedagang yang cerdik, dan juru damai yang bermartabat.





Lihat saja, dia membawa kembali Kepala Pemberontak yang lari ke Palembang di Sumatra. Selain itu, dalam pendaratannya di Srilangka, Cheng Ho berhasil menaklukkan Raja Sinhalese yang berseberangan dengan kaisar Yong Le. Di luar cerita kekerasan itu, Cheng Ho juga mampu bersahabat dengan penduduk yang disinggahinya selama pelayaran. Banyaknya suvenir dan benda bernilai yang dihadiahkan kepada Cheng Ho memberi bukti itu. Tak termungkiri pula, Cheng Ho adalah agen akulturasi budaya antara kebudayan China dengan kebudayaan masyarakat persinggahan. Dan itu bukan jasa yang sedikit.Pelayaran Cheng Ho tak hanya membangun jalur dagang China lewat laut dengan Asia dan Afrika, tetapi juga meneguhkan negara tersebut sebagai kekuatan besar dan berdaya di dunia ketika itu. Dia juga memberi tahu dunia, betapa teknologi China telah begitu maju, jauh sebelum negara-negara Eropa yang ''arogan'' melakukan ekspedisi yang lalu membuahkan kolonialisme.(*)
g Saroni Asikin


* Dimuat pada Suplemen Cheng Ho Suara Merdeka, Agustus 2005

Tidak ada komentar: