Sepulang dari kantor, aku menyusuri Jl Cipto Semarang. Hujan rintik ketika itu. Di bangjo Milo, seorang lelaki berdiri dengan kruk penyangga kaki. Kakinya hanya satu. Dari jauh, sebelum aku berhenti karena nyala merah lampu perempatan, dia kulihat berdiri kukuh. Kupikir dia seperti laiknya pengemis lain yang cacat. Tidak, tidak, dia tak mengemis. Pada ketiak kanannya dia mengapit penyangga kruk, dan di ketiak kirinya terkepit setumpuk koran sore.
Aha, dia menjual koran rupanya. Selintas dia tampak khawatir rintik hujan merusak koran jualannya.
Di belakang dia muncul empat anak muda, sehat dan bertubuh trengginas. Tiga orang di antaranya memiliki rambut yang dicat menyala. Salah seorang mengapit ukulele dan mereka bersiap-siap naik ke bus. Untuk apa lagi kalau bukan mengamen?
Pemandangan yang hanya beberapa kejap sebab lampu telah menyala hijau. Tapi ada yang tertinggal di hatiku. Kenapa si cacat itu tak mengemis saja? Kenapa repot-repot menjual koran yang mungkin keuntungannya tak seberapa? Kenapa dia tak naik bus saja, rengeng-rengeng sebentar dan menadahkan telapak tangan ke para penumpang seperti empat pengamen yang ''bergaya'' itu?Adakah dia punya harga diri terlalu mahal sehingga tak mau sekali pun menadahkan tangan? Kalau demikian, betapa malunya aku. Dan betapa marahnya aku pada anak-anak muda yang dengan enteng menadahkan tangan hanya karena sebuah ''hiburan tak diundang'', yang kadang-kadang juga sama sekali tak menghibur.
* pindahan dari bungadara.blogspot.com
16 Juli 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar