16 Juli 2007

Menghukum Telunjuk

TAK ada sulitnya memberi hadiah pada anak. Yang termudah dan termurah, ya pujian plus ciuman di pipi. Sebaliknya, dalam memberi hukuman pada anak, kita harus pintar-pintar mencari cara yang pas. Salah-salah bisa berabe, lho. Bisa-bisa si anak menganggap kita orang tua jahat seperti tukang sihir.
Saya dan istri sudah sepakat mengenai kedua hal tersebut. Khusus untuk pemberian hukuman, kami berkomitmen bahwa hal itu dilakukan semata agar si anak tahu bahwa dirinya telah berbuat kekeliruan. Konsep hebatnya sih menyadarkan anak bahwa suatu tindakan yang keliru pasti ada sanksinya. Tapi tak mungkin kan menjelaskan pemahaman seperti itu pada anak umur 6 atau 8 tahun seperti anak kami itu?
Kalau terpaksa menghukum secara fisik, kami berdua menerapkan cara praktis seperti ini: menghukum bagian tubuh yang dipakai untuk suatu kenakalan. Kalau yang bersalah tangan, misalnya memukul sepupunya atau teman bermainnya, ya tangannya itu yang dihukum. Kalau kakinya yang menendang, ya kakinya yang diberi pelajaran. Catatan khususnya, hukuman tidak boleh menyakitkan. Cukup satu tepukan kecil. Kesepakatan tambahannya kami wajib memberi dia pelukan dan ciuman setelah menghukum. Paling tidak, dengan begitu si anak tetap merasa kami sayangi. Siapa yang mau disebut ayah atau ibu jahat?
Suatu hari misalnya, Bunga (waktu itu masih usia 4 tahun) sedang bermain boneka dengan sepupunya yang masih sepantaran usia dengan dia. Lagi asyik-asyiknya mereka bermain, lengkap dengan tawa kanak-kanak yang riang, tiba-tiba Bunga merebut boneka Panda dari tangan teman mainnya. Tak hanya merebut, dia juga membanting boneka itu ke lantai sambil berteriak,’’ Dasar bayi bodoh!’’ Wah, itu teriakan yang dia adopsi dari tokoh Angelica dalam film kartun Rugrats yang sering dia tonton.
Melihat hal itu, saya langsung memanggil Bunga. Tentu saja dengan suara yang tak keras. Ketika dia mendekat, saya bilang, ‘’Mana tangannya yang tadi untuk ngerebut dan ngelempar boneka?’’
Dengan muka tanpa dosa dan tanpa rasa takut, dia menyodorkan kedua tangannya. Saya pegang kedua tangan itu dan dengan satu tepukan lembut pada telapak tangannya, saya berkata, ‘’Tangan ini kan untuk menimang boneka, bukan untuk ngerebut dan ngelempar. Bunga tahu, kan?’’
Dia cuma mengangguk dengan wajah polos. Setelah itu, mereka berdua bermain lagi dan tawa riang anak-anak kembali terdengar seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Pada kali lain, saya mendapati Bunga (masih usia menjelang 5 tahun) menendang kaki teman sepermainannya. Saya tahu, mungkin dia kesal karena temannya itu tanpa sengaja menendang mainan pasar-pasaran yang sedang dia gelar di lantai. Saat itu, saya berpikir jangan-jangan dia meniru kami dalam memberi hukuman. Mungkin karena yang menendang mainannya adalah kaki sang teman, maka kaki itu pula yang dia hukum dengan menendangnya pula. Repotnya, temannya itu menangis dan pulang ke rumahnya.Lagi-lagi, saya memanggil Bunga untuk memberi hukuman. Dia mandah saja. Dengan tangan, saya tepuk kakinya secara pelan. Kali ini, Bunga protes. ‘’Kaki dia kan salah, jadi dihukum dong, Yah?’’Saya harus menjawab apa terhadap protes itu? Alih-alih menjawab, saya peluk dia sembari mencium pipinya. ‘’Ayah yakin besok-besok Bunga tak akan menendang teman lagi.’’
Saya menceritakan hal itu pada istri saya. Dia hanya tertawa, lalu berkata, ‘’Wah, kayaknya Bunga mulai meniru cara kita nih, Yah. Kalau gitu, kita harus cari cara lain. Tapi bagaimana, ya?’’Sampai beberapa waktu, kami berdua belum menemukan cara lain itu. Kami masih menerapkan hal yang sama sambil terus mencari cara dari teman-teman kami atau baca-baca artikel mengenai hal tersebut. Bagaimanapun kami masih yakin bahwa tujuan penghukuman semata untuk memberi pemahaman si anak tentang sanksi.
Di saat kami masih kebingungan mengubah cara, suatu hari Bunga ‘’bertingkah’’ lagi. Dia mencolok mata seorang temannya persis di depan mata saya. Lagi-lagi temannya menangis dan pulang ke rumahnya. Karena belum menemukan cara yang berbeda, saya terpaksa menyetiai cara lama.
‘’Bunga sini, tangannya dihukum!’’
Seperti biasa dia mandah saja dan mendekat ke arah saya. Tapi apa yang dia sodorkan? Bukan tangan yang dia acungkan melainkan telunjuk tangan kanannya. ‘’Ini yang tadi nyolok, Yah.’’
Saya hampir tertawa mendengar itu. Tapi tentu saja saya tahan dan dengan terpaksa telunjuk itulah yang saya sentil. Begitu saya ceritakan hal itu pada istri, dia tertawa ngakak. Setelahnya, kami jadi yakin untuk mengubah cara memberi hukuman. Tapi bagaimana?(*)

* Pindahan dari bungadara.blogspot.com

Tidak ada komentar: