JULI 1405. Pelayaran muhibah pertama Cheng Ho segera dimulai. Kapal-kapal dari Galangan Longjiang Nanjing dihela ke pelabuhan terdekat di Liujia Taicang, kota pantai 40 kilometer dari Shanghai. Seluruh kru berkumpul di Kuil Jinghai, Taicang untuk berdoa pada Tianfei, dewi kaum Tao pelindung laut.
Setelah berdoa, armada mulai bergerak menyusuri Teluk Liu menuju Sungai Yangtse sebelum sampai di laut lepas. Banyak silang pendapat mengenai jumlah kapal yang ikut dalam pelayaran perdana. Ada yang menyebut 62 kapal. Namun, ada pula yang menyebut lebih dari 100 kapal, bahkan ada yang berani menyebut 317 buah. Di luar perbedaan jumlah tersebut, yang pasti pelayaran muhibah itu mirip sebuah konvoi laut gigantis yang meriah dengan bentuk arsitektural memikat.
Di tengah-tengah armada tersebut, beberapa di antaranya adalah kapal-kapal bendera yang superbesar. Bayangkan, pada zaman itu, orang-orang China tersebut telah mampu membikin kapal sepanjang 400 kaki (122 meter) dan lebar 160 kaki (50 meter). Bandingkan dengan kapal Santa Maria kebanggaan si Eropa Columbus itu yang hanya berpanjang 90 kaki (28 meter) dan lebar 30 kaki (9 meter). Belum lagi kru yang ada di semua kapal itu. Cheng Ho bersama 27.800 orang, sementara kru Columbus hanya 90 orang.
Belum lagi kalau kita mencermati kapal-kapal khusus pada armada Cheng Ho yang rata-rata sepanjang 339 kaki (103 meter), yaitu kapal khusus kuda, air segar, kapal khusus serdadu, kapal penyuplai, dan kapal perang. Bayangkan pula beragam barang yang dibawa dari China seperti sutra, emas, dan porselin untuk diperdagangkan.
Teknologi navigasi yang dipakai untuk ukuran zaman itu pun sangat mencengangkan. Ada kompas temuan China di abad ke-11. Ada pula batangan hio yang menengarai waktu dengan hitungan tiap 10 batang berarti 1 hari. Untuk saling berkomunikasi antara satu kapal dengan kapal lainnya, para kru menggunakan bendera, lentera, genta, merpati pos, gong, dan helaian kain.
Dalam kunjungan saya ke Museum Cheng Ho di Chaotian Palace Nanjing, sisa-sisa pelayaran Cheng Ho yang ditemukan lewat penggalian terhadap Dock No 6 di wilayah antara San Chahe dan Zhong Baocun di Nanjing memberikan tambahan pengetahuan mengenai betapa tingginya teknik navigasi laut pada zaman tersebut. Umumnya, peralatan yang dipakai selama pembuatan kapal adalah mangkuk, piring, dan guci yang desainnya jauh berbeda dengan umumnya desain pot atau porselin pada masa awal Dinasti Ming. Pada bagian bawah peralatan yang tertemukan dalam kondisi utuh, terdapat huruf dari tinta China yang berbunyi ''Zhou'', ''Li'', dan 'Xu''. Begitu pula, sepasang sepatu dari pohon palma yang ditemukan secara mencengangkan masih utuh kondisinya. Panjangnya 27,3 sentimeter yang umumnya dipakai para awak kapal.
***
YA, dengan kedahsyatan armadanya, Cheng Ho sudah siap menjadi seorang penakluk lautan. Tujuan utamanya adalah bandar Guli (Kalikut) di barat daya India yang sejak lama dikenal orang China sebagai pusat perdagangan. Lewat Laut Cina Timur menyusur ke barat hingga di Laut China Selatan dan tiba sampai di Zhancheng (Vietnam yang dulunya bernama Campa), kapal-kapal berhenti di pelabuhan Qui Nhon. Selama persinggahan di situ, kru Cheng Ho begitu takjub mendapat pengalaman baru. Situs internet majalah Time menuliskan bagaimana kru Cheng Ho begitu terkejut sekaligus terpesona menyaksikan dua orang yang berseteru diminta naik kerbau menuju rawa-rawa tempat buaya yang ganas akan memakan orang yang bersalah. (lihat www.time.com/asia/features/journey2001/map.html).
Dari Vietnam armada kembali bergerak menuju Laut Jawa dan mendarat di Pulau Jawa (Zhaowa). Tujuannya sudah pasti untuk menyinggahi Kerajaan Majapahit yang kala itu memang sudah kondang. Masih berdasarkan Time, ada empat titik kota yang disinggahi, yaitu Mojokerto, Surabaya, Tuban, dan Semarang. Lagi-lagi ada ketakjuban orang asing berhadapan dengan wilayah baru.
Di Mojokerto, orang-orang Cheng Ho yang masuk ke wilayah Kerajaan Majapahit takjub menyaksikan raja yang tak beralas kaki menunggangi gajah dan tinggal di istana yang dikelilingi tembok setinggi 10 meter. Di Surabaya, salah seorang penerjemah Cheng Ho dibuat terkesima ketika menyaksikan seorang perempuan yang mandul meminta berkah dari seekor lutung tua dengan persembahan anggur, beras, dan kue-kue di satu pulau dekat kota tersebut (Madura?). Menyusur ke barat, armada sampai ke Tuban. Di kota tersebut, para awak kapal seolah-olah menjumpai orang-orang dari bangsanya. Apa pasal? Sebab, awak kapal mendapat kisah bahwa ada sebuah pancuran keramat yang muncul tiba-tiba bersamaan dengan hilangnya seorang tentara China (kaum tartar dari Mongolia dipimpin Kubilai Khan) pada akhir abad ke-13. Itu tahun ketika Kerajaan Majapahit telah mulai bertahta.
Khusus untuk persinggahan di Semarang, Time dan beberapa sumber lain menuliskan sebuah ironisme. Sebab, keterkejutan dan kekaguman terhadap orang asing yang dimiliki kru Cheng Ho seolah-olah harus dibayar dengan sebuah ketakutan. Konon, awak kapal Cheng Ho menjumpai orang-orang yang mengacungkan keris kepada orang asing yang ditemui. Tak ayal mereka beranggapan, orang Jawa adalah orang terkejam di dunia.
Menyusuri Laut Jawa, aramada bergerak ke barat dan singgah di Sanfoqi (Palembang). Bekas pusat wilayah Kerajaan Sriwijaya itu memang telah dikenal orang-orang China sebgai pusat perdagangan laut. Sembari singgah, konon Cheng Ho juga berusaha mencari lanun China yang menjadi buronan kaisar Yong Le. Di daerah tersbeut, kru Cheng Ho menjumpai kaum imigran China yang telah hidup makmur, serta kebiasaan mereka yang suka berjudi dan adu jago.
Armada lalu menyusuri perairan timur Sumatra dan singgah di dua bandar, yakni Deli (Sumut) dan Sumendala (Samudra, Aceh). Di Deli, kru Cheng Ho terpesona menjumpai seekor binatang yang disebut ''harimau terbang''. Binatang itu sebesar kucing dengan badan tertutupi bulu-bulu berwarna abu-abu. Di Samudra, keterpesonaan semakin menjadi-jadi melihat adanya badak dan banyaknya kayu laka. Kayu tersebut secara rutin sering dikirim ke China sebagai hadiah.
Dari Sumatra, armada melaju ke bandar Ayutthaya di Xianlo (Thailand). Di tempat tersbeut, kru Cheng Ho mempelajari satu hal: perempuan lebih berdaya dibandingkan lelaki. Sebab, mereka mengurusi hampir semua urusan, dari perdagangan hingga soal-soal pemberian sanksi. Dari situ, barulah armada menyeberangi Samudra Hindia menuju Xilanshan (Srilangka) dan singgah di pelabuhan Kataragama. Di wilayah ini, ketangguhan seorang Cheng Ho di bidang kemiliteran diuji. Dia harus menaklukkan raja Sinhasale. Dan dari wilayah itu pula muncul sebuah kisah kegendaris, bahwa ketika Cheng Ho berhasil menaklukkan Srilangka, dia mencuri relika suci berupa sepotong gigi Buddha. Konon gigi tersebut dipercaya sebagai jimat pelindung untuk kepulangan aramada ke China.
Akhir Tahun 1406, Armada akhirnya sampai ke kota tujuan utama: Kalikut. Mereka sempat pula singgah di dua tempat lainnya, yaitu Koshin dan Quilon. Di situ, awak kapal Cheng Ho membongkar muatan dan melakukan perdagangan dengan masyarakat setempat.
''Kalikut memang wilayah yang sungguh hebat di perairan samudra barat,'' begitu komentar awak kapal Cheng. Komentar itu sekaligus menegaskan, pelayaran mereka untuk melihat dengan mata kepala sendiri daerah Kalikut yang telah banyak disebut itu sungguh tak sia-sia.
Musim semi 1407, dengan menggantungkan pada angin muson, armada berlayar untuk kembali ke tempat asal. Rute yang ditempuh adalah rute yang dilalui sebelumnya yaitu menyeberangi Samudra Hindia, ke Selat Malaka dan menyusuri tepian timur Sumatra. Di Selat Manlajia (Malaka), awak kapal yang singgah mencermati perikehidupan orang Malaka yang begitu sibuk dalam bidang perdagangan. Pada setiap sudutnya, seperti kesaksian para awak kapal, pembangunan sebuah negara kota sedang sangat giat-giatnya dilakukan. Kalau melihat kesaksian itu, kita mungkin mengasumsikan bahwa wilayah yang disiggahi tersebut adalah Singapura. Kita tahu sebelum memerdekakan diri, Singapura adalah bagian dari Malaysia.
Angin memang sedang baik-baiknya. Tapi armada Cheng Ho harus membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk bisa kembali ke negerinya. Pasalnya, di perairan Sumatra, armadanya terlibat bentrok dengan kawanan perompak atau lanun. Lagi-lagi kegagahan Cheng Ho diuji di sini. Perompak berhasil dikalahkan dan dia membawa serta kepala perompak. Ia orang yang dicarinya untuk dibawa ke kaisar Yong Le. Sangat mungkin kepala perompak yang ditawan itu bernama Chen Zhu Yi seperti yang ditulis Remy Sylado dalam Sam Po Kong. Armada ekspedisi pertama itu telah kembali ke Nanjing dengan membawa banyak cerita, benda, dan kehendak menggelora untuk kembali mengarungi lautan.
g Saroni AsikinDari Vietnam armada kembali bergerak menuju Laut Jawa dan mendarat di Pulau Jawa (Zhaowa). Tujuannya sudah pasti untuk menyinggahi Kerajaan Majapahit yang kala itu memang sudah kondang. Masih berdasarkan Time, ada empat titik kota yang disinggahi, yaitu Mojokerto, Surabaya, Tuban, dan Semarang. Lagi-lagi ada ketakjuban orang asing berhadapan dengan wilayah baru.
Di Mojokerto, orang-orang Cheng Ho yang masuk ke wilayah Kerajaan Majapahit takjub menyaksikan raja yang tak beralas kaki menunggangi gajah dan tinggal di istana yang dikelilingi tembok setinggi 10 meter. Di Surabaya, salah seorang penerjemah Cheng Ho dibuat terkesima ketika menyaksikan seorang perempuan yang mandul meminta berkah dari seekor lutung tua dengan persembahan anggur, beras, dan kue-kue di satu pulau dekat kota tersebut (Madura?). Menyusur ke barat, armada sampai ke Tuban. Di kota tersebut, para awak kapal seolah-olah menjumpai orang-orang dari bangsanya. Apa pasal? Sebab, awak kapal mendapat kisah bahwa ada sebuah pancuran keramat yang muncul tiba-tiba bersamaan dengan hilangnya seorang tentara China (kaum tartar dari Mongolia dipimpin Kubilai Khan) pada akhir abad ke-13. Itu tahun ketika Kerajaan Majapahit telah mulai bertahta.
Khusus untuk persinggahan di Semarang, Time dan beberapa sumber lain menuliskan sebuah ironisme. Sebab, keterkejutan dan kekaguman terhadap orang asing yang dimiliki kru Cheng Ho seolah-olah harus dibayar dengan sebuah ketakutan. Konon, awak kapal Cheng Ho menjumpai orang-orang yang mengacungkan keris kepada orang asing yang ditemui. Tak ayal mereka beranggapan, orang Jawa adalah orang terkejam di dunia.
Menyusuri Laut Jawa, aramada bergerak ke barat dan singgah di Sanfoqi (Palembang). Bekas pusat wilayah Kerajaan Sriwijaya itu memang telah dikenal orang-orang China sebgai pusat perdagangan laut. Sembari singgah, konon Cheng Ho juga berusaha mencari lanun China yang menjadi buronan kaisar Yong Le. Di daerah tersbeut, kru Cheng Ho menjumpai kaum imigran China yang telah hidup makmur, serta kebiasaan mereka yang suka berjudi dan adu jago.
Armada lalu menyusuri perairan timur Sumatra dan singgah di dua bandar, yakni Deli (Sumut) dan Sumendala (Samudra, Aceh). Di Deli, kru Cheng Ho terpesona menjumpai seekor binatang yang disebut ''harimau terbang''. Binatang itu sebesar kucing dengan badan tertutupi bulu-bulu berwarna abu-abu. Di Samudra, keterpesonaan semakin menjadi-jadi melihat adanya badak dan banyaknya kayu laka. Kayu tersebut secara rutin sering dikirim ke China sebagai hadiah.
Dari Sumatra, armada melaju ke bandar Ayutthaya di Xianlo (Thailand). Di tempat tersbeut, kru Cheng Ho mempelajari satu hal: perempuan lebih berdaya dibandingkan lelaki. Sebab, mereka mengurusi hampir semua urusan, dari perdagangan hingga soal-soal pemberian sanksi. Dari situ, barulah armada menyeberangi Samudra Hindia menuju Xilanshan (Srilangka) dan singgah di pelabuhan Kataragama. Di wilayah ini, ketangguhan seorang Cheng Ho di bidang kemiliteran diuji. Dia harus menaklukkan raja Sinhasale. Dan dari wilayah itu pula muncul sebuah kisah kegendaris, bahwa ketika Cheng Ho berhasil menaklukkan Srilangka, dia mencuri relika suci berupa sepotong gigi Buddha. Konon gigi tersebut dipercaya sebagai jimat pelindung untuk kepulangan aramada ke China.
Akhir Tahun 1406, Armada akhirnya sampai ke kota tujuan utama: Kalikut. Mereka sempat pula singgah di dua tempat lainnya, yaitu Koshin dan Quilon. Di situ, awak kapal Cheng Ho membongkar muatan dan melakukan perdagangan dengan masyarakat setempat.
''Kalikut memang wilayah yang sungguh hebat di perairan samudra barat,'' begitu komentar awak kapal Cheng. Komentar itu sekaligus menegaskan, pelayaran mereka untuk melihat dengan mata kepala sendiri daerah Kalikut yang telah banyak disebut itu sungguh tak sia-sia.
Musim semi 1407, dengan menggantungkan pada angin muson, armada berlayar untuk kembali ke tempat asal. Rute yang ditempuh adalah rute yang dilalui sebelumnya yaitu menyeberangi Samudra Hindia, ke Selat Malaka dan menyusuri tepian timur Sumatra. Di Selat Manlajia (Malaka), awak kapal yang singgah mencermati perikehidupan orang Malaka yang begitu sibuk dalam bidang perdagangan. Pada setiap sudutnya, seperti kesaksian para awak kapal, pembangunan sebuah negara kota sedang sangat giat-giatnya dilakukan. Kalau melihat kesaksian itu, kita mungkin mengasumsikan bahwa wilayah yang disiggahi tersebut adalah Singapura. Kita tahu sebelum memerdekakan diri, Singapura adalah bagian dari Malaysia.
Angin memang sedang baik-baiknya. Tapi armada Cheng Ho harus membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk bisa kembali ke negerinya. Pasalnya, di perairan Sumatra, armadanya terlibat bentrok dengan kawanan perompak atau lanun. Lagi-lagi kegagahan Cheng Ho diuji di sini. Perompak berhasil dikalahkan dan dia membawa serta kepala perompak. Ia orang yang dicarinya untuk dibawa ke kaisar Yong Le. Sangat mungkin kepala perompak yang ditawan itu bernama Chen Zhu Yi seperti yang ditulis Remy Sylado dalam Sam Po Kong. Armada ekspedisi pertama itu telah kembali ke Nanjing dengan membawa banyak cerita, benda, dan kehendak menggelora untuk kembali mengarungi lautan.
* Dimuat dalam Suplemen Cheng Ho Suara Merdeka, Agustus 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar