13 Juli 2007

Menulis (Lagi) Jejak Kebesaran Sang Navigator

DI antara rerimbun pinus dan sipres, sebuah bangunan berarsitektur paduan China-Islam berdiri. Ia seperti bersembunyi di tengah-tengah keluasan dan kelebatan pepohonan di Zheng He Guoyuan (Taman Cheng Ho) di Kunyang, Yunnan, China. Tepat di bawah atapnya, sebuah epitaf dalam huruf China berbunyi: ''Epitaf bagi Ayahku Haji Ma''.
Dan karena epitaf tersebut, orang Kunyang jadi ingat kembali nama Ma He alias San Bao alias Cheng Ho. Apalagi di tengah-tengah bangunan terdapat sebuah prasasti yang berisi biografi Cheng Ho tertulis. Orang besar itu memang lahir di Kunyang tahun 1371 dari etnis Hui yang beragama Islam dengan nama aslinya Ma He
Kenapa ingat kembali? Apakah selama ini navigator agung yang melakukan ekspedisi bahari tak tertandingi pada zamannya itu dilupakan? Apakah jasa lelaki kasim menggaungkan kebesaran Kekaisaran China ke banyak negeri tak berarti apa-apa bagi orang negerinya?
Beberapa literatur yang saya baca memang menyebutkan proses penghancuran besar-besaran terhadap semua yang telah dilakukan Cheng Ho oleh penguasa China setelah berakhirnya ekspedisi di tahun 1433, khususnya atas pengaruh kaum intelektual neo-konfusian. Dari situ lalu muncul asumsi bahwa wajar saja kebesaran ekspedisi Cheng Ho yang disebut-sebut bahkan jauh lebih dahsyat daripada yang dilakukan Columbus atau Amerigo Vespucci atau Bartolomeu Diaz tersebut jadi tak terbaca sejarah. Lebih-lebih lagi, konon semua kapal yang dipakai ekspedisi berikut galangan kapalnya di Longjiang ikut dihancurkan.
Nama Cheng Ho memang tak benar-benar tak disebut di China. Dalam perjalanan ke Kota Nanjing dan Kunming akhir Juni lalu, beberapa orang yang saya jumpai mengaku mengenal namanya. Hanya saja, sosoknya dikenal semata nama seorang yang besar. Atau lebih ekstremnya, dia hanya seorang pelaut besar.
''Saat SD, guru saya bercerita tentang dia. Dia seorang pelaut besar yang memulai pelayaran dari Nanjing. Hanya itu yang saya ingat,'' tutur Ge Zhu Qing (18) seorang pelajar sebuah akademi di Nanjing yang bekerja paruh waktu pada Zhang Guoyuan di Nanjing.
Orang yang lebih tua pun mengenalnya. Hanya saja, karena China memiliki banyak tokoh besar, Cheng Ho hanya seperti nama yang terselip di antara banyak nama lain. ''Wo zhi dao. Dan shi zhe li you hen duo ying xiong,'' ujar Chuan Tong Fu (57), lelaki tua yang melewatkan hari-harinya bermain catur China dengan koleganya di Zheng He Guoyuan di tengah-tengah Kota Nanjing. Dia mengaku mengenal nama sang navigator, tapi di China dia mengenal banyak tokoh besar.
Apalagi memang kalau dirujukan pada ideologi konfusianisme yang dianut sebagian besar orang China, komentar Chuan Tong Fu seolah-olah memiliki pembenaran tertentu. Ideologi tersebut mengajarkan bahwa setiap orang telah memiliki peranan yang dimainkan sesuai status sosialnya. Intinya, segala sesuatu memiliki tempatnya tersendiri. Jadi, tak ada yang bisa dianggap ''mengagumkan'' sepanjang prestasi seseorang dilakukan sesuai perannya.
Pada faktanya, sekarang ini, ingatan tentang kebesaran Cheng Ho mulai dihidupkan kembali. Penamaan kembali sebuah taman kota di Nanjing dengan Zheng He Guoyuan bolehlah dijadikan bukti awal. Meskipun pada taman itu sama sekali tak terdapat jejak-jejak kebesarannya, ia tetap membuktikan bahwa pemerintah kota Nanjing secara serius menjadikan nama Cheng Ho sebagai bagian dari jejak sejarah wilayahnya. Ya, taman itu tak ubahnya sebuah taman di tengah kota. Di antara rerimbunan pinus, terdapat bangku-bangku batu untuk rehat, bermain catur, berteduh dari terik siang musim panas di Nanjing, atau hanya arena anak-anak bermain-main.
Tera paling signifikan di Nanjing bisa ditemukan di Museum Seni yang berada di kompleks Chaotian Palace. Di dalamnya terdapat banyak benda peninggalan pelayaran Cheng Ho yang sempat ditemukan. Sebut misalnya, kayu pembuat kapal, jangkar, pilar-pilar kapal, pasak dan kait, tali dari pohon palma, beberapa gerabah dan alat-alat pertukangan pembuatan kapal, dan banyak lagi. Pada catatan yang terdapat di situ tertulis bahwa benda-benda penting itu berasal dari dok nomor 6 yang sempat digali dari Zhong Baocun di Nanjing. Selain itu, tulisan mengenai kebesaran Cheng Ho terutama teknik pembuatan kapal dan peranti navigasinya semakin menjelaskan kehendak mengingat kembali namanya.
Tapi mengapa jejak-jejak Cheng Ho berada dalam Museum Seni di areal Chaotian Palace yang sebenarnya merupakan istana suci keagamaan untuk mengingat Nabi Konfusius? Saya bertanya pada Gao Qin yang memandu saya, ''Apakah dengan demikian orang Nanjing menganggap Cheng Ho orang suci?'' Sambil tertawa, gadis itu menjawab, ''Bisa jadi. Bagaimana dia tokoh sejarah besar, khususnya bagi Kota Nanjing.''
Jejak Cheng Ho di Nanjing bisa ditemukan pada Kompleks makam Cheng Ho yang berada jauh di luar kota, tepatnya di Bukit Kepala Sapi Niushou. Tempat itu juga mulai direstorasi secara serius. Selasa (21 Juni 2005 ketika saya datang, beberapa orang sedang sibuk menyelesaikan sebuah bangunan di dekat gerbang makam yag dimaksudkan sebagai semacam Memorial Hall untuk Cheng Ho. Mereka mulai memasang papan-papan nama. Makamnya sendiri telah terenovasi dengan baik. Jalan masuknya bersih dan tertata rapi.
Di Kunyang, daerah asal sang Navigator, keseriusan mengingat namanya terlihat pada proses renovasi tanpa henti pada Zheng He Guoyuan. Bahkan, pada bangunan utama, beberapa tapak setelah patung besar Cheng Ho, orang-orang lagi serius mempersiapkan pesta untuk mengenang pelayaran pertamanya. Lampion-lampion besar sedang dibuat dan relief-relief yang menceritakan pelayaran Cheng Ho mulai dipasang di dinding, tepat di sisi patungbesar Sang Navigator.
Bila Anda masuk lebih jauh ke dalam Zheng He Guoyuan tersebut, jejak-jejak Cheng Ho bisa ditemukan. Sekadar informasi, taman itu tadinya adalah Taman Yueshan dan demi mengingatkan lagi orang pada Cheng Ho namanya diubah menjadi Taman Cheng Ho. Ya, di dalam areal taman tersebut selain epitaf untuk sang ayah, sebuah museum dan rumah asli keluarga Ma bisa dikunjungi. Di museum, Anda akan melihat berbagai benda yang merujuk pada pelayaran Cheng Ho. Sebuah maket besar yang memperlihatkan rute pelayaran juga bisa dilihat. Tak ketinggalan, rempah-rempah yang didapat selama ekspedisi seperti cengkeh, lada hitam, pala, dan banyak lagi terpajang pada sebuah etalase. Dalam rumah asli keluarga Ma, beberapa lukisan yang terpajang memperlihatkan daerah-daerah yang sempat disinggahi Cheng Ho. Kalau diamati lebih saksama, lukisan-lukisan tersebut juga menceritakan bagaimana permuhibahan yang dilakukan Cheng Ho selala disambut baik oleh penduduk lokal.
Taman itu sangat menyenangkan untuk berjalan-jalan. Rindangnya pepohonan, udara segar dari Bukit Yueshan, tak akan membuat pengunjung kecapaian oleh rutenya yang naik-turun. Tak hanya di akhir pekan, Kamis (23 Juni 2005) ketika saya berkunjung, banyak sekali remaja yang menikmati kedamaian taman tersebut. Hanya dengan 2,5 RMB Yuan, pengunjung bisa bersantai sembari mengunjungi setiap tempat yang ada.
Lebih dari itu, taman tersebut menjadi kebanggaan orang Kunyang, khususnya etnis Hui yang merupakan suku keluarga Cheng Ho. Beberapa orang Hui dalam pakaian khas mereka yang serba biru. ''Ia orang Hui. Kami juga suku Hui,'' ujar Yang Zhi (47) bangga yang disambut tawa rekan-rekannya.
Dan kebanggaan itu mulai hendak diiingatkan lagi. Meskipun perayaan 600 pelayaran pertama Cheng Ho tak seheboh di Semarang atau Singapura, kebesaran nama sang navigator di kota Nanjing dan Kunming, dua kota yang menjadi titik berangkatnya mulai digemilangkan kembali.

g Saroni Asikin


* Dimuat dalam Suplemen Cheng Ho Suara Merdeka, Agustus 2005

Tidak ada komentar: