13 Juli 2007

Cheng Ho, Di Mana Sih Kuburmu?




TAK mudah menemukan kuburan Cheng Ho di Nanjing, China. Tak mudah pula menemukan orang yang mengetahui bahwa Cheng Ho dikuburkan di suatu tempat di kota tersebut. Di kota itu, saya lebih banyak menjumpai orang yang menggelengkan kepala ketika saya bertanya tentang Zheng He Mu (Makam Cheng Ho). Padahal, dalam banyak catatan tertulis bahwa setelah ekspedisi ketujuhnya di tahun 1433, Cheng Ho meninggal tahun 1435 dan dimakamkan di Bukit Kepala Sapi di Niushou, luar kota Nanjing. Meskipun sebenarnya, beberapa sejarawan menyebut lelaki itu mati di tengah-tengah laut pada tahun terakhir ekspedisinya.


Orang Nanjing yang mengetahui bahwa Cheng Ho dikubur di sekitar mereka juga bisa dihitung dengan jari. Apalagi memang Niushou berada jauh di luar kota Nanjing. Jadi, pada peta kota yang saya beli di Bandara Lokou Nanjing, nama wilayah itu tak tertulis sama sekali. Dalam peta hanya ada Zheng He Guoyuan (Taman Cheng Ho) yang berada di tengah-tengah kota. Tapi itu bukan tempat utama yang saya cari.


Di hotel tempat saya menginap, tak seorang staf pun yang mengetahui letaknya. Sebagian mengatakan belum pernah mendengar hal itu. Persoalan bahasa ikut mempersulit pencarian informasi. Sekadar informasi, meskipun hotel itu berbintang empat, tak banyak stafnya yang paham bahasa Inggris, sementara Mandarin saya sebatas ''Ni hao ma?'' atau ''xiexie''.


Akhirnya saya memutuskan untuk mencari pemandu. Saya pikir itu akan banyak membantu. Tapi Gao Qin, gadis pemandu berbahasa Inggris yang direkomendasikan pihak hotel, pun tak tahu, bahkan hanya tentang posisi bukit Niushou. Saya membayangkan kesulitan tak terperi. Akhirnya saya katakan pada gadis itu untuk pergi saja dan bertanya pada orang-orang yang mungkin dijumpai di jalan. Dia sepakat. Untuk mempermudah, dia menyarankan untuk sewa mobil.


Saya pikir kesulitan sedikit terurai begitu sopir datang pada Selasa (21 Juni 2005) pukul 9.00 waktu setempat dan kami segera meluncur menuju Niushou. Namun, begitu keluar dari Kota Nanjing, sang sopir bahkan tak tahu arah menuju Niushou. Apa pasal? Niushou hanyalah sebuah bukit kecil dan tak semua orang Nanjing mengetahui arah jalannya. Kami berputar-putar mengambil banyak rute di luar kota. Lewat Gao Qin, sudah beberapa orang yang ditanya tentang Makam Cheng Ho. Pencarian masih menemu jalan buntu dan kami harus berhenti dahulu untuk rehat dan makan siang.


Saat makan, saya dengar Gao Qin berujar, ''Zai Nanjing xiang yao zhao dao Zheng He mu duo nan a!'' Saat ditanya artinya, dia menjelaskan bahwa betapa susahnya mencari kuburan Cheng Ho di Nanjing. Ya, memang susah benar. Sudah sekitar tiga jam kami berputar-putar dan bertanya pada banyak orang, namun belum juga bertemu titik terang.


Usai makan siang dan rehat sejenak, pencarian kami mulai lagi. Kami masih berputar-putar hingga memasuki wilayah bebukitan. Pada sebuah pertigaan, kami berhenti. Beberapa orang tengah membuat jalan menuju ke arah sebuah bukit. Titik terang agaknya mulai tertemukan. Sebab, para pekerja itu menunjuk arah tertentu. Meskipun tak paham sama sekali yang dipercakapkan pemandu saya dengan mereka, saya menangkap kesan bahwa para pekerja itu mengetahui tempat yang kami cari.Kami mengikuti jalan tanah liat sebelum bertemu jalan beraspal. Setelah beberapa belokan, sopir terdengar mendesah puas ketika melihat papan nama dalam huruf China. ''Jieguo!''


Ya, akhirnya kami sampai punya papan petunjuk yang bakal membawa kami ke makam Cheng Ho setelah pencarian hampir setengah hari.Sebuah baliho besar dengan gambar Cheng Ho berdiri di pinggir sebuah pertigaan. Sekitar 100 meter dari situ, sebuah gerbang telah terlihat. Kompleks tersebut seperti baru saja dibangun. Paving block pada jalan masuk dan tempat parkir seperti baru saja terpasang. Begitu pula bangunan yang dipakai sebagai foodcourt. Makam yang kami cari berada di balik bangunan dan areal kosong penuh pohonan. Kami harus melewati gerbang (yang juga masih terlihat baru), taman yang juga baru, dan sebuah Memorial Hall untuk Cheng Ho yang juga tengah dipasangi papan nama. Kuburan sang navigator agung itu ada di atas jalan bertrap naik. Tepatnya lewat sebuah gerbang dengan ciri arsitektural Dinasti Ming bertuliskan tiga huruf China (Zheng He Mu). Ada tujuh trap yang masing-masing berisi 28 jejak. Itu dimaknakan sebagai tujuh kali permuhibahan Cheng Ho selama 28 tahun (1405-1433). Dan di bawah kerindangan pepohonan pinus, sipres, dan banyak lagi lainnya, sebuah kuburan membujur dari utara ke selatan. Makam itu tanpa nisan dan pada sisi sebelah selatannya tercetak tulisan bismillahirrahmanirrahim berwarna hijau. Tak ada tengara lain selain sebuah prasasti di jalan masuk ke makam yang menceritakan secara singkat kisah permuhibahan Cheng Ho ke wilayah Barat dari negeri China.


***


DI situkah jasad sang ekspeditor agung itu bersemayam? Mungkin ya. Sebab, tulisan di gerbang masuk jelas-jelas menunjukkan di situlah Cheng Ho dikuburkan. Dalam banyak catatan, masyarakat setempat memang mengakui Cheng Ho dimakamkan di situ. Pembaharuan makam ke dalam ciri keislaman mulai tahun 1985 juga menjadi bukti pengakuan kepada sang navigator yang memang beragama Islam.Tapi benarkah di bawah kerindangan pepohonan di bukit Niushou jasad Cheng Ho bersemayam? Dari makam tersebut, saya mengajak Gao Qin untuk ke desa sekitar. Saya katakan padanya bahwa banyak sejarawan berspekulasi mengenai kematian Cheng Ho di laut pada ekspedisi terakhirnya. Saya juga mengatakan, bahwa di tempat asal saya, Cheng Ho dipercaya meninggal di Laut Jawa sekitar Jepara, dan yang dikubur di Niushou adalah benda-benda yang merepresentasikan dirinya.


Dia setuju, sebab sebagai orang Nanjing itulah kali pertama mendengar Cheng Ho dimakamkan di Niushou. Selama ini dia hanya tahu dari cerita sejarah mengenai perjalanan Cheng Ho.Sekitar dua kilometer dari tempat itu memang ada pemukiman. Seorang warga yang kami temui menyarankan untuk mencari orang yang berusia agak tua untuk memperoleh informasi yang kami butuhkan. Orang yang dimaksud tengah duduk merokok di depan rumahnya sembari teh hijau. Dia menyambut kami dengan ramah. Lewat Gao Qin kami menanyakan kebenaran bahwa benar-benar jasad Cheng Ho yang ada di Niushou.Tan Yinming, lelaki tua itu bercerita, bahwa makam itu pernah dibongkar beberapa tahun sebelum direstorasi. Dia menyebut tahun 1962. Penduduk sekitar membongkar makam bukan demi mengetahui kebenaran adanya jasad sang navigator, melainkan untuk mencari sesuatu yang berharga pada makam-makam tua. Dan di dalamnya tak ditemukan apa-apa. ''Kosong. Tak ada tulang belulang sama sekali,'' tandas dia.Saya semakin penasaran dan mengatakan bahwa kemungkinan setelah lebih dari lima abad, kerangkanya telah menyatu dengan tanah. Lelaki itu hanya tertawa dan mengatakan, ''Mungkin saja. Saya tak tahu. Selama ini yang mengunjungi makamnya hanya kerabatnya dari suku Hui di Kunyang, Yunnan.''


Aha, dengan susah payah kami telah menemukan situs makam. Begitu menemukan, ternyata susah pula meyakini bahwa lelaki Kasim Agung itu memang dimakamkan di situ. Di Bukit Kepala Sapi itu jelas-jelas saya menemukan sebuah makam. Tengara-tengara di sekitarnya meyakinkan bahwa itu makam Cheng Ho. Tapi pernyataan lelaki tua di desa sekitar makam tersebut seolah-oleh membenarkan asumsi bahwa Cheng Ho meninggal di laut dalam ekspedisi terakhirnya, yang konon di laut sekitar Jepara, dan ada pula yang menyebutnya di sekitar pelabuhan Kalkuta, India. Yang benar, wallauhua'lam bissawab. Namun yang pasti, di mana pun jasad orang besar seperti Cheng Ho, jasad yang pasti telah rusak dan tak berjejak, namun jasa-jasanya bakal terus hidup sepanjang waktu. Apalagi dalam keyakinan orang China, orang besar selalu dianggap serupa ''dewa'', dianggap sebagai Kong. Cheng Ho pun punya nama Sam Po Kong di Indonesia: seorang San Bao yang di''dewa''kan. (*)

g Saroni Asikin

* Dimuat dalam Suplemen Cheng Ho Suara Merdeka, Agustus 2005

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Boleh share email yang bisa dihubungi?