24 Juli 2007

Tinta Abu-abu Perdamaian

SIAPA tak ingin perdamaian? Siapa pula ingin terus hidup dalam pertikaian tanpa ujung? Maka ketika tahu Kresna pergi ke Hastinapura sebagai duta Pandawa, orang-orang berkerumun di tepi jalan mendengungkan madah dan menaburkan bebungaan. Mereka sangat mengharapkan Raja Dwarawati itu mampu menjadi juru damai dalam konflik panjang anak turun Bharata.
Semua orang menunggu keberhasilan sang Kresna sebagai juru damai. Bahkan sebuah tembang kinanti menggambarkan antusiasme itu, meskipun dengan agak konyol.
Para dyah akeh kesusu
gelung wudar tan tinolih
miwah kekembene lukar
nora sedya den rawati
pembayun sinangga ngasta
kayungyun kesa ngatitih.
Lihat, betapa para gadis tak sempat menggelung rambut atau membetulkan busana yang acakadut hanya demi mangayubagya sang juru damai.
Namun, bahkan dalam histeria konyol itu, Kresna tak bisa melepas seguris senyuman. Sebab, dia sadar benar, kedatangannya menghadap Duryudana bukan sekadar untuk menuntut hak Amarta atas Pandawa. Dia membawa keinginan banyak orang agar pertikaian panjang Pandawa-Kurawa segera berakhir.
Dia tahu pasti, mission sacre (tugas suci) itu bisa saja hanya sebuah mission impossible (misi muskil). Dan kita tahu, lakon Kresna Duta tak berakhir dengan sebuah kesepakatan. Karena, telinga Duryudana seolah-olah dipenuhi suara kerakusan Sangkuni, Jayajatra, atau Burisrawa. Telinganya tuli oleh suara perdamaian dari Bhisma, Durna, Widura, Kripa, dan bahkan dari sang ayah, Destarastra.
"Sudahlah, anak-anakku, tolong kalian jangan kelewat rakus. Punya separo negeri cukuplah sudah dan kita bisa hidup penuh perdamaian," teriak Destarastra yang buta.
Namun telinga Duryudana telah begitu pekak untuk bisa mendengar teriakan orang tua itu. Alih-alih sebuah kesepakatan damai, akhir cerita ''Udyogaparwa'' dalam Mahabharata itu seolah-olah malah menjadi picu bagi konflik baru yang lebih besar. Gaung perang Bharatayuda ditabuh ketika itu. Kutukan menakutkan terlontar dari Kresna yang marah ketika tiwikrama menjadi sesosok raksasa, "Kebenaran akan terungkap, hai Kurawa. Kalian bakal palastra dalam Bharatayuda."
Mungkin kita bertanya, mengapa Kresna yang notabene seorang duta bisa semarah itu? Bukankah tindakan itu melewati batas-batas tugas seorang caraka, paling tidak dalam konsepsi perundingan modern? Mungkin kita bisa memaklumi kemarahan Kresna. Mungkin pula kita bisa memaklumi kegagalannya sebagai duta. Sebab, dalam terminologi wayang, dia hanyalah seorang titah dan di atasnya ada organisasi perdewaan yang lebih berkuasa. Dan, para dewa memang telah menyiapkan Serat Jitapsara, kitab perang Bharatayuda.
Ya, dalam lakon itu kita mendengar sang dalang berteriak, "Bharatayuda kudu dadi." Maka, kita tahu upaya perundingan damai itu harus gagal demi sebuah skenario besar yang diciptakan kekuasaan yang lebih besar lagi. Kita tahu pula mengapa beberapa dewa mengiringi Kresna ke Hastinapura adalah juga bagian dari permainan besar itu.


***

SAYA yakin, kita tak mau ada skenario besar para dewa di balik penandatanganan nota kesepahaman perdamaian antara RI dan GAM. Kita tak ingin para fasilitator itu bukan Kresna yang bijak, melainkan raksasa marah yang terjelma dari tiwikrama-nya. Kita tak mau Helsinki hanyalah Hastinapura yang selalu penuh dengan keculasan. Kita tak mau ratusan pemantau asing itu hanya serupa Bhisma, Durna, Kripa, atau Widura yang berusaha meneriaki kepongahan dan keculasan Duryudana, tetapi lalu bergeming. Lebih-lebih lagi kita tak ingin mereka malah bermuka Sangkuni.
Saya yakin, kita sangat ingin sigar semangka yang ditawarkan Pandawa via Kresna benar-benar sebuah solusi tepat. Kita sangat ingin Aceh itu sebuah nanggroe (negeri) yang benar-benar darussalam (wilayah damai).
Memang kita tahu, tak semua orang Aceh paham soal nota kesepahaman itu, seperti beberapa kelompok di belahan lain Nusantara tak selalu bulat menerima itu. Lihat sekitar kita, skeptisisme muncul dalam bentangan spanduk di tepi-tepi jalan yang berbunyi "Kita cinta damai, tapi lebih cinta NKRI".
Ya, pada sebuah perundingan yang telah tertandatangani, kita memang acap harus bersikap skeptis. Tak hanya Kresna yang gagal sebagai duta perdamaian, Sunan Giri pun dalam Babad Tanah Jawi (mungkin) merasa perlu menyesali pilihan perdamaian yang ditawarkan dalam konflik antara Panembahan Senopati dari Mataram dan Pangeran Surabaya yang mewakili para bupati dari brang wetan. Seperti Kresna yang punya formula sigar semangka, Sang Sunan menawarkan pilihan yang lebih bersifat filosofis: isi atau wadhah.
"Layang ingsun Kangjeng Sunan Giri dhawuha marang putra ningsun Senapati ing Mataram lan dhawuha marang putra ningsun Pangeran Surabaya. Liring layang, nggonira bakal perangan iku ingsun ora nglilani, krana bakal akeh pepati, ngrusakake wong cilik. Ing mengko sira loro miliha: isi lan wadhah. Yen sira wis padha milih isi lan wadhah mau ing sasenengira dhewe-dhewe, tumuli padha atuta, lan padha sukura ing Allah. Lan ing mbesuk, menawa ana kersaning Allah, sira padha tinitah luhur utawa andhap, narimaa ing pepesthen. Titi."
Pangeran Surabaya memilih isi, sedangkan Senapati mendapat bagian wadah. Namun dari situ pulalah muncul konflik berlarut antara Mataram dan wilayah brang wetan seperti Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Malang, dan Kediri. Senapati seolah-olah mendapat sebuah "piagam" aneksasi wilayah karena pilihannya. Bahkan, pilihan itu seolah-olah memperoleh kebenaran asketis, beroleh restu dari langit. "Wruhanira, wis pinesthi karsa Allah, Senapati nggonge nampani wadhah iku wis kebeneran. Wadhah iku negara, isi iku uwonge. Ing semangsane uwong ora nurut marang kang duwe bumi, mesthi bakal ditundung."
Ya, mengapa Giri menawarkan pilihan yang memang adil, tetapi lalu berujung pada keuntungan di satu pihak dan kebuntungan di pihak lain? Dia menawarkan perdamaian dengan rasa keadilan, tetapi (mungkin) tak dinyana itu berbuah pertikaian terus-menerus? Apakah Giri tak tahu ekses buruk tawaran pilihannya? Untuk pertanyaan ini, saya patut mempertanyakan ilmu laduni Sang Kanjeng Sunan, ilmu yang bisa weruh sadurunge winarah. Namun itu mungkin tak perlu kita berpanjang peneraan. Yang pasti, sebuah perundingan, betapa pun semua klausulnya menguntungkan kedua pihak yang berseteru, hanyalah sebuah upaya, sebuah ikhtiar yang patut pula disikapi secara skeptis.
Boleh jadi, apa yang dilakukan Kresna, juga Giri, disemangati oleh kerinduan nuraniah akan perdamaian. Paling tidak, itu sebuah semangat mulia, sebuah mission sacre. Lebih ngeri lagi andai kita membayangkan sebuah perundingan yang dilakukan hanya sebagai muslihat atau jalan yang melempangkan plot skenario yang lebih besar seperti para dewa yang telah mengguratkan Jitapsara. Kita ingat bagaimana Pangeran Diponegoro masuk perangkap licik Belanda yang berselubung sebuah perundingan di Makassar. Perundingan itu hanya melempar sang Pangeran ke jeruji besi hingga maut menjemput. Dalam versi ketoprak brang wetanan, kita juga menyaksikan aksi tipu-tipu Sunan Kudus yang mempertemukan Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya. Dalam cerita ketoprak itu, sang sunan adalah pendukung dan pemberi restu Adipati Jipang Panolan dan sebagai juru damai, dia jelas berpihak. Namun tentu tak semua perundingan bermula dan berakhir dengan cara-cara seperti itu. Sebab, "Bila ada luka, kita harus coba sembuhkan. Bila sakit seseorang bisa kita sembuhkan, kita harus mengupayakannya," ujar dokter Iannis dalam film Captain Corelli's Mandolin.
Ya, bila luka Aceh masih bisa disembuhkan, kenapa kita tidak mengupayakannya? Meskipun mungkin kepala kita telah penuh cerita keculasan yang membuat kita sering tak lagi percaya pada niat baik.(*)

g Saroni Asikin

)* Tulisan di Rubrik ''Pamomong'' Suara Merdeka, 2004 (lupa tanggalnya)

Tidak ada komentar: