SETIAP orang selalu butuh ingatan ke masa lalu. Kalau bukan untuk sekadar bernostalgia, ia butuh rujukan tertentu untuk melakukan sesuatu di masa depan. Dengan konsepsi seperti itu, Taman Kastil Osaka atau Osaka Castle Park masih tegak berdiri, terpelihara bagus, dan jadi tempat kunjungan banyak orang yang pergi ke Osaka.
Selain kastil itu, kota terbesar kedua di Jepang setelah Tokyo itu memiliki beberapa tempat serupa. Ada tempat yang menyuguhkan bagaimana sejarah kota bergulir dari masa ke masa seperti yang bisa dijumpai di Osaka Museum of History. Kalau ingin menilik sejarah seni pemerintahan kota tersebut, orang bisa pergi ke Osaka Municipal Museum of Art, atau yang berskala lebih besar, mereka bisa pergi ke The National Museum of Art.
Tanpa mengurangi nilai penting beberapa tempat wisata historis itu, Kastil Osaka disebut-sebut sebagai yang paling signifikan untuk orang Osaka. Pasalnya dalam ingatan masyarakat di sana, kastil itu menjadi simbol kota yang mengingatkan mereka pada ''Taiko-han'' atau pendiri kastil tersebut yang bernama Hideyoshi Toyotomi. Orang yang disebut itu begitu penting bagi sejarah Osaka, juga Jepang.
Lihat saja apa tujuan dia membangun kastil. Bangunan itu menjadi basis kampanyenya mengenai persatuan nasional sekaligus peneguh kekuasaan dan kekuatannya sebagai seorang pemimpin wilayah. Belum lagi dominasi warna keemasan yang menyelubungi bangunan kastilnya yang megah dan agung. Untuk ukuran abad ke-17, masa ketika kastil itu mulai dibangun, ia tak tertandingi bangunan manapun di Jepang sendiri, Ming (China), dan Korea.
Karena itu, suatu sore di awal Oktober 2006, di sela-sela persiapan Midosuji Parade 2006, saya bersama beberapa orang dari Sanggar Greget Semarang dan Aki Adishakti dari KJRI Osaka memilih kastil itu sebagai tempat kunjungan. Tentu saja tujuannya tak sekadar mengisi waktu luang. Sebab, setidak-tidaknya kami beroleh informasi mengenai kebesaran Osaka di masa lalu. Seperti telah disebut, Kastil Osaka boleh dibilang sebagai pusat sejarah kota tersebut.
Lebih dari itu, kastil itu memang sangat menarik untuk dikunjungi dan juga dipelajari bagaimana dulu sekelompok orang membangun kekuatan dan membentengi diri dari serangan. Apalagi, kastil tersebut termasuk sebuah bangunan gigantik dengan keluasan arealnya mencapai 1 kilometer persegi. Anda bisa melihat miniatur lengkapnya (dalam bentuk maket) pada Lantai 5F. Sayang sekali, tak seorang pengunjung pun diperbolehkan mengambil foto maket tersebut. Tentu saja itu tindakan preventif yang logis.Kastil itu memang menjadi pusat segalanya. Selain berada di tengah-tengah, bangunannya juga yang paling besar dan paling tinggi. Secara sederhana bisa digambarkan begini: parit yang lebar dan dalam mengelilingi areal kastil yang bentuknya agak heksagonal (segidelapan). Untuk aktivitas keluar masuk (dari kastil ke luar atau sebaliknya) dihubungkan dengan jembatan menuju pintu gerbang utama atau disebut Otemon atau gerbang muka (Oteguchi). Gerbang yang dibangun tahun 1620 itu sempat terbakar tahun 1783 dan dibangun lagi tahun 1848. Dari situ, masih ada gerbang lagi sebagai penahan laju musuh bila ada serangan. Gerbang itu disebut Sengan Yagura yang dibangun di tahun yang sama dengan Otemon dan merupakan salah satu bangunan tersisa Kastil Osaka. Setelah masuk lewat Sengan Yagura, tembok keliling besar dan tinggi menjadi bagian pertahanan berikutnya. Pertahanan berlapis memang menjadi ciri kastil pada umumnya. Barulah setelah tembok keliling itu, dalam bentuk heksagonal pula, areal tempat tinggal para prajurit. Masih ada parit lagi yang membatasi areal itu dengan areal kastil. Dihubungkan dengan tiga jembatan pada beberapa titik, arus dari dan ke kastil dilakukan.
Perlu dicatat, parit memang menjadi sistem pertahanan zaman lampau yang efektif menahan laju serangan. Jadi, Anda bisa membayangkan bagaimana sangat berlapisnya sistem pertahanan yang di situ.
***
NAMUN, kalau Anda berkunjung ke Taman Kastil Osaka sekarang, tak semua areal bisa Anda datangi. Selain kastil dan beberapa bangunan tersisa, sebagian besar bangunan yang masih ada, khususnya bekas hunian para prajurit telah beralih fungsi. Ada yang jadi sekolah, tempat pertunjukan, dan gerai toko. Tapi jangan khawatir, masih begitu banyak bangunan lama yang bisa Anda datangi.
Apalagi, meskipun harus rela berjalan jauh menyusuri tiap jalan panjang menuju kastil, pepohonan tinggi dan rindang memberi naungan para pengunjung.Bagaimana untuk bisa sampai ke taman kastil itu? Kami memang memakai mobil milik KJRI Osaka sehingga tak perlu memakai alat transportasi lain. Tapi Anda tak perlu merisaukan soal transportasi menuju ke situ asal mau sedikit berlelah-lelah berjalan. Dari stasiun JR Morinomiya atau dari stasiun Osakajoken keluar lewat pintu 1 dan 3, Anda cukup berjalan 15 menit untuk ke lokasi. Itu untuk pengguna line kereta JR (bukan subway). Kalau ingin memakai subway, ada beberapa stasiun terdekat. Yakni, Temmabashi (pintu 3), Tanimachi 4-chome (pintu 1-B dan 9), Morinomiya (pintu 1 dan 3), dan Keihan Temmabashi (pintu 1-B dan 9). Di Taman Kastil Osaka, Anda bisa masuk ke areal taman yang luas sesuka hati tanpa dipungut bayaran. Hanya di kastil utama yang buka setiap hari dari pukul 9:00-17.00 (masuk terakhir 16.30), Anda harus membayar 600 Yen (sekitar Rp 48 ribu). Kami berhenti di tempat taksi ngetem atau dekat halte bus Otemae. Berjalan menyusuri lantai ber-paving, kami melewati deretan cemara bonsai memasuki Otemon atau Gerbang Muka. Selanjutnya kami melewati Sengan Yagura yang merupakan gerbang kokoh dari kayu tua. Ini pintu gerbang yang membatasi areal yang dulunya hunian para prajurit. Setelah melewati Taiko Yagura (batu dalam bentuk drum yang juga menjadi dinding pertahanan), sebuah jalan menuju gerbang kedua yang menuju areal kastil melewati jembatan parit. Di balik gerbang itu ada sebuah sumur dalam bentuk persegi yang airnya disuplai lewat pipa bulat. Ginmeisui sebutan sumur yang berasal dari zaman Edo yang dibawa ke situ pada tahun 1931.
Air minum itu bisa dikonsumsi. Beberapa teman yang mencoba minum berujar, ''Oh, ini air berkhasiat rasa Jepang.'' Tentu saja itu hanya selorohan. Tapi benar bahwa itu berkhasiat. Selain punya nilai sejarah, pengunjung yang sudah melewati jalan panjang menyusuri areal di situ bisa mampir ngombe. Meskipun tentu saja banyak air kemasan yang bisa dibawa pengunjung, sedikit menikmati air dari Ginmeisui tentu jadi kenangan tersendiri.Masih ada satu sumur lagi ketika kami telah melewati boks tiket. Namanya Kinzosui yang tertutup oleh jeruji besi. Di dekat sumur Ginmeisui itu, ada tembok tebal dan tinggi yang terbuat dari batu utuh. Itu yang disebut Sakuramon atau Gerbang Batu Sakura. Di depannya, seorang rahib dengan caping lebar dengan mangkuk kayu berdiri menunggu uluran uang pengunjung. Dia akan mengucapkan doa pemberkatan kepada penderma. Aha, tak cuma di situs-situs kunjungan Indonesia saja yang kadangkala ada pengumpul derma, di Jepang yang kaya pun ada.Dari situ pengunjung harus berjalan lagi menuju kastil. Di keluasan halamannya, ada beberapa situs lain yang menarik untuk dilihat seperti Osaka Museum of History yang pernah menjadi markas tentara Jepang selama Perang Dunia II dan pasca-perang sempat menjadi Markas Kepolisian Prefektural (setingkat provinsi) Osaka. Ada banyak aktivitas lain di situ, yaitu gerai suvenir, atau tempat berfoto dengan latar belakang kastil. Untuk berfoto, ada tiga peraga atau fanel dalam bentuk figur orang berbusana tradisional Jepang yang bagian wajahnya bolong sehingga kepala orang yang ingin berfoto bisa masuk ke situ.
***
SEMESTINYA, bangunan kastil itu ada delapan lantai dengan sebutan F. Hanya saja, ada satu lantai yang tetutup atau tak bisa dimasuki pengunjung, yaitu Lantai 6F. Saya tak tahu alasan mengapa pengunjung tak boleh ke situ. Dari brosur informasi pun tak ada catatan yang memberi alasan. Aki Adishakti yang menjadi ''pemandu dadakan'' kami pun tak tahu. Namun, itu bukan soal benar untuk mengetahui isi kastil yang punya nilai historis tinggi bagi wilayah Osaka tersebut.
Dari pintu masuk di Lantai 1F yang dilengkapi dengan gerai suvenir dan boks telepon umum dan sebuah lukisan pendiri kastil Hideyoshi Toyotomi, kami dirujuk untuk memakai elevator menuju Lantai 5F. Seorang petugas penunggu elevator dengan setia membawa para pengunjung sembari memberi informasi. Tentu saja dalam bahasa Jepang. Tentu saja pada rombongan kami hanya Aki yang paham. Tapi intinya adalah ucapan selamat datang dan mempersilakan kami menikmati semua yang tersaji di dalam kastil tersebut.
Lantai 5F menyuguhkan gambaran Perang Musim Panas di Osaka dalam layar kaca. Pada setiap folding screen, kisah perang dihadirkan secara visual. Paling menarik adalah diorama dalam bentuk patung-patung kecil pada etalase kaca besar yang menyuguhkan ''jajar perang''. Pengunjung bisa mengamati seragam, senjata, dan formasi barisan pada etalase itu. Catatan yang ada di situ menyebutkan bahwa itu formasi Perang Musim Panas antara pasukan Osaka melawan Sanada dan Matsudaira.
Dari Lantai tersebut, kami naik ke lantai tertinggi di 8F. Alasannya, agar kunjungan kami bersifat efektif karena dari lantai tersebut bisa terus turun. Pengunjung lain pun begitu. Dan di 8F yang merupakan ruang observasi ke lanskap sekitar kastil. Sebagian Osaka terlihat dari situ. Di Lantai 7F, kehidupan pendiri kastil disuguhkan dalam diorama miniatur dalam bentuk folding screen juga. Pada lantai 4F, 3F, dan 2F, kami melihat pelbagai jenis artefak peninggalan kastil yang disimpan di etalase.Menurut saya, Kastil Osaka itu layak dikunjungi, khususnya untuk para pengelola museum kita. Dukungan diorama miniatur dan folding screen yang mengisahkan peperangan dan kisah kehidupan sehari-hari para tokohnya, plus tatanan areal tamannya yang bagus untuk bersantai, sangat patut dicontoh untuk sebuah museum di negeri kita.
Saya membayangkan misalnya dahsyatnya Perang Diponegoro melawan Belanda dihadirkan tak hanya berupa artefak, tapi kisah visual lewat video atau diorama miniatur. Kalau demikian, pasti lebih mengesankan pengunjung dan yakinlah pasti museum bakal sangat diminati. Dalam hal ini, Kastil Osaka tak sekadar pendedah kisah perang, tapi juga ruang belajar.(*)
g Saroni Asikin
* Dimuat pada Rubrik Jalan-jalan Suara Merdeka, 29 Oktober 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar