21 Juli 2007

Pencarian Identitas Batik Semarang: Realitas dan Harapan
Oleh Saroni Asikin )*

SABTU (21 Juli 2007) di Pekalongan dalam ‘’Bincang Batik Kontemporer’’, panitia menyebutkan nama peserta yang diundang dari kalangan komunitas pembatik di banyak daerah. Solo, Lasem, Cirebon, bahkan Riau disebut, tapi Kota Semarang sama sekali tak disebutkan. Saat itu saya berpikir, apakah komunitas batik nusantara belum mengakui atau belum tahu kalau sekarang ini Semarang punya orang-orang yang aktif di bidang tekstil ini?
Kenyataannya, coba tanyakan pada seseorang mengenai batik di Jawa. Sangat mungkin dia bakal menyebut nama Surakarta atau Solo, Yogya, Pekalongan, Lasem, atau Cirebon. Tempat-tempat itu sudah menjadi semacam sebutan baku ketika orang membincangkan motif batik atau aktivitas perbatikan.
Kalau diperlihatkan selembar kain batik, seseorang yang suka atau paham soal perbatikan, sangat mungkin bisa dengan cepat menyebut jenisnya. ‘’Oh, ini batik gaya Solo, yang itu Jogja. Kalau yang itu Laseman, itu Cirebonan, sementara yang itu Pekalongan.
Beberapa orang yang sudah terbilang expert dalam mencermati kekhasan motif batik di daerah-daerah bahkan bisa dengan cepat membandingkan satu batik dengan batik lainnya. Dia bisa mengenali mana batik Bakaran Pati, Tegal, Kebumen, Banyumas, atau Purworejo.
Tapi mana batik Semarang? Coba tanya saja, apakah Semarang juga punya batik? Sangat mungkin jawabannya hanya berupa gelengan kepala. Beberapa pemerhati batik di Kota ATLAS ini menyebut kenyataan seperti itu agak ironis. Pasalnya, kalau dengan dibandingkan kota-kota kabupaten lainnya di Jateng, ‘’ketiadaan’’ tengara batik di kota sebesar Semarang, kota bersejarah panjang dan menjadi ibukota provinsi, boleh dibilang sangat mengherankan dan memprihatinkan.
Persoalan mengenai apakah Semarang punya sesuatu yang layak dikedepankan dalam hal kreasi tekstil ini memang memikat ditelusur. Kalau kita menengok wacana belakangan mengenai revitalisasi batik di tiap daerah dengan keyakinan setiap daerah punya batik khas, maka Semarang juga patut dipertimbangkan. Pemerhati batik seperti Judi Achjadi atau Asmoro Damais yang mengatakan tak ada batik berkategori ‘’Batik Semarang’’, kenyataannya juga punya asumsi bahwa semestinya pada zaman dahulu ada perbatikan di Semarang. Asumsi itu berdasar atas tradisi perempuan yang suka batik atau keterampilan membatik di kalangan perempuan pada hampir semua kota di Jawa. Jadi, dalam hal ini, nama Semarang baru disebut hanya sebagai loka atau tempat aktivitas perbatikan, bukan sebagai tengara atau motif khas yang bisa langsung disebut sebagai Batik Semarangan. (Beberapa pemerhati Batik sepakat penggunaan istilah Batik Semarang untuk batik-batik yang dibuat di Semarang, sementara batik Semarangan sudah merujuk pada gaya berupa pola desain, corak, motif yang mencakup juga kekhasan latar, warna, dan isen-isen)
Dalam beberapa gelaran pameran batik yang mengusung atribut Batik Semarang juga sering muncul kebelumpercayaan bahwa Semarang punya batik yang menjadi ciri khasnya. ‘’Apakah Batik Semarang hanya memunculkan motif flora dan fauna saja. Seperti itukah yang disebut Batik Semarangan?’’
Sering pula muncul pertanyaan, ‘’Apakah kreasi batik Indoeropa seperti yang dilakukan Ny Ossterom dan Ny Franquemont, atau kreasi orang Tionghoa peranakan sudah merepresentasikan sesuatu yang bisa dipahami sebagai batik Semarangan?’’
Itu antara lain pertanyaan yang masih menyangsikan keberadaan Batik Semarang. Adakah batik yang bisa disebut batik Semarangan? Kalau ada, apa polanya yang dianggap khas?
Sisi baik dari kesangsian tersebut adalah munculnya wacana mengenai perlunya pencarian identitas batik yang secara karakteristik bisa disebut Semarangan. Para inteletual pemerhati batik, perajin, dan orang-orang yang concern terhadap jenis tekstil ini masih pula belum bisa mengambil sebuah simpulan. Tapi hampir semuanya sepakat, bahwa pada masa lalu, Semarang pernah punya aktivitas perbatikan. Artinya, ada jejak historis yang bisa dipakai sebagai pijakan. Nama Kampung Batik di sekitar wilayah Bubakan, Kota Semarang bisa dijadikan tengara mengenai jejak historis itu.
Pada kenyataannya, dalam beberapa literatur, muncul beberapa batik yang tegas-tegas disebut Batik Semarang, khususnya dalam ulasan mengenai batik pesisir. Begitu pula muncul beberapa nama yang disebut sebagai pengusaha batik di Semarang.
Dalam perkembangannya muncul beberapa perajin batik yang intensif mengusung motif dengan ciri khas Semarang. Sekadar contoh, motif batik Warak Ngendog dan Pandan Arang kreasi Neni Asmarayani (tahun 1970-an), Semen Dampo Awang, Jembatan Mberok, atau Ya’ik Permai kreasi Sanggar Batik Sri Retno (1970-1980-an), serta belasan kreasi Batik Semarang 16 (tahun 2006) seperti Tugu Muda Kekiteran Sulur, Blekok Srondol, atau Lawang Sewu Ngawang. Tentu saja motif-motif seperti itu tak bisa dijumpai pada batik mana pun di nusantara selain di Semarang. Bersama-sama dengan motif-motif lain yang serupa, maksudnya yang memunculkan ikon khas Semarang, tak bisakah lalu disebut saja sebagai Batik Semarang?

Mari kita lihat jejak-jejak itu...

Robyn Maxwell, seorang peneliti tekstil di Asia Tenggara, menjumpai sebuah sarung di Tropenmuseum Amsterdam yang dibuat di Semarang. Dalam bukunya bertajuk Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade, and Transformation ( 2003), Maxwell menyebutkan, kain berukuran 106,5 x 110 cm yang terbuat dari bahan katun dengan dekorasi dari warna alam memiliki motif yang sangat berbeda dengan motif batik Surakarta atau Yogyakarta.
Bertemakan militer, batik yang diproduksi pada abad ke-19 itu menggambarkan barisan serdadu, pembawa panji-panji, pemain musik, dan para bangsawan yang naik kereta kuda. Menurut catatan museum, motifnya menggambarkan perayaan Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Kepala-nya bermotif jajaran ornamen ganda berbentuk segitiga dan geometris yang merupakan tipe desain kain panjang yang diproduksi di Jawa untuk pasar Sumatra.
Kenapa bisa berada di Tropenmuseum? Maxwell menjelaskan, batik itu ada di antara barang-barangan dagangan dari Hindia Timur yang dikirim ke negeri Belanda.
Peneliti lain, Pepin van Roojen, juga menemukan beberapa jenis batik dari Semarang seperti yang dia tulis dalam bukunya berjudul Batik Design (2001). Ada kain sarung yang dibuat pada akhir abad ke-19 di Semarang. Sarung itu memiliki papan dan tumpal dengan ornamen berupa bhuta atau sejenis daun pinus runcing asal Kashmir. Motif badannya berpola ceplok. Ini menunjukkan, meskipun secara spesifik batik Jawa Tengahan yang diwakili Surakarta dan Yogyakarta berbeda dengan batik pesisir -Semarang termasuk di dalamnya-, tetapi pola-pola baku tetap pula dipakai seperti ditunjukkan pada motif berpola ceplok itu.
Ada pula peneliti batik yang menegaskan, batik Semarang, dalam beberapa hal memperlihatkan gaya Laseman. Karakter utama Laseman berupa warna merah (bangbangan) dengan latar gading (kuning keputih-putihan). Lee Chor Lin (2007:65) mengatakan, Laseman dengan ciri bangbangan memengaruhi kreasi batik di beberapa tempat di pesisir utara lainnya seperti Tuban, Surabaya, dan Semarang.
Peneliti lain, Maria Wonska-Friend (Smend et al, 2006:53) menyebutkan ciri pola batik Semarang berupa pola floral, yang dalam banyak hal sangat mirip pola Laseman. Tak heran, pada koleksi Rudolf G. Smend, banyak sekali kain batik dari abad ke-20 yang disebut batik Lasem atau Semarang. Maksudnya, batik-batik tersebut tak secara spesifik disebut sebagai kreasi satu kota misalnya batik Lasem saja, atau batik Semarang saja.

Nyonya Ossterom & Nyonya Fraquemont

Dua orang Indoeropa ini punya kontribusi besar dalam sejarah batik di Semarang. Keduanya membuka workshop di wilayah Semarang. Beberapa contoh kreasi mereka bisa disebutkan.
Nyonya van Ossterom pada abad ke-19 membuat batik dengan pola yang lumayan rumit pada bagian papan dan kepala-nya. Misalnya itu ditunjukkan pada batik yang menggambarkan 59 tokoh wayang kulit, termasuk naga dan garuda. Itu juga dijumpai pada kreasi lain sang mevrouw berupa sarung dengan motif legenda China.
Ada catatan menyebutkan, orang ini lalu pindah ke Banyumas untuk meneruskan usaha pembatikannya. Pasalnya, tempat produksinya hancur terkena letusan Gunung Ungaran. Salah satu kreasinya berupa sarung yang dikoleksi H Santosa Dullah (Batik Danar Hadi) dalam pola Sirkus yang antara lain menggambarkan penunggang kuda, orang dansa, bangunan mirip kastil, pohon palma, dilengkapi dedaunan dan burung yang sangat mirip phoenix.
Carolina Josephina von Franquemont yang aktif berproduksi pada dekade 1850-1860 pernah membuat sarung berkualitas bagus. Sarung buatan tahun 1850 itu mengombinasikan beberapa elemen: badannya bermotif garis miring, dipisahkan dengan pola motif ombak berisi ikan sebagai isen. Detail badannya berisi kehidupan di air seperti ikan, kerang, kura-kura, tanaman bawah air, kapal layar, dan seorang anak kecil di atas biduk bermahkotakan naga. Papan dan tumpalnya didekorasi dengan daun dan buah pohon eks.
Kedua orang tersebut mewakili peran para wanita Indo-Eropa yang menjadi motor penggerak kerajinan batik di Pesisiran Jawa. Meskipun waktu produksinya tak selama Eliza Chralotta van Zuylen yang berproduksi di Pekalongan, kedua perempuan itu tetap memberi kontribusi penting bagi sejarah Batik Semarang.
Ada dua koleksi batik Fraquemont yang dikoleksi H Santosa Dullah berupa sarung dengan pola Dewi Hsi-Wang Mu, dan pola Wayang.

Tan Kong Tien

Pada awal abad ke-20, ditemukan sebuah perusahaan batik yang cukup besar di Semarang. Namanya “Batikkerij Tan Kong Tien”, yang awalnya berada di daerah Bugangan Semarang ini milik seorang lelaki peranakan Tionghoa bernama Tan Kong Tien.
Catatan yang ditulis Dr Dewi Yuliati, peneliti batik dari Undip Semarang, menyebutkan keterampilan membatik dan mengelola perusahaan batik Tan Kong Tien didapat dari istrinya yang bernama Raden Ayu Dinartiningsih, salah seorang keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono III dari Kasultanan Yogyakarta. Tan Kong Tien sendiri merupakan anak dari Tan Siauw Liem, seorang tuan tanah di Semarang yang mendapat kehormatan gelar mayor dari pemerintah Hindia Belanda.
Pernikahan antara Tan Kong Tien dengan RAy Dinartiningsih menurunkan Raden Nganten (RNg) Sri Murdijanti. Dialah anak yang meneruskan usaha batik hingga tahun 1970-an. Ia sendiri mendapat kepercayaan untuk memonopoli batik di wilayah Jawa Tengah dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) pasca-Perang Kemerdekaan.
Uniknya, proses produksi kebanyakan dilakukan di rumah-rumah para pembatik yang tergabung pada perusahaan itu. Singkatnya, merekamenerapkan pola home industry yang tersebar di kampung Rejosari, Kintelan, Kampung Batik, Karang Doro, Mlaten Trenggulun, Kampung Darat, dan Kampung Layur. Produksi dari kampung-kampung tersebut tidak dilakukan secara massal, namun hanya dilakukan berdasar pesanan belaka. Yang menjadi pertimbangan adalah waktu yang dibutuhkan sangat panjang, rata-rata satu bulan untuk selembar kain.
Masih dalam catatan Dewi Yuliati, motif-motif batik dari “Batikkerij Tan Kong Tien”, merupakan hasil akulturasi motif pesisiran yang berkarakter terbuka dan motif keraton, khususnya Yogyakarta yang berkarakter simbolis. Perpaduan ini bisa dipahami sebagai bagian adaptasi persentuhan antara Tan Kong Tien yang orang pesisiran Semarang dengan istrinya yang orang keraton. Sebagai contoh, motif dasar parang yang merupakan motif batik keraton, seringkali dipadu dengan motif burung merak. Di sini terlihat sekali akulturasi gaya ekspresi peradaban keraton yang penuh simbol (digambarkan dalam parang), dan karakter pesisiran yang lebih realis dan terbuka (motif Merak).

Neni Asmarayani

Pada tahun 1970-an, perempuan ini membuka semacam galeri batik di rumahnya di Jl Seroja Dalam. Dalam penciptaan desain, dia melibatkan beberapa pelukis dan seniman ternama ketika itu seperti R Hardi, Bagong Kussudiarjo, dan Kusni. Paling tidak, ada dua motif bernuansa Semarang yang diciptakan, yaitu Warak Ngendog dan Pandan Arang.
Sayang tak diketahui sampai kapan perempuan itu berkreasi. Beberapa orang yang sempat mengenalnya mengatakan, perempuan itu telah meninggal dan anak-anaknya yang (katanya) tinggal di Sragen tak melanjutkan usaha pembatikan. (Dan sungguh sayang, sampai tulisan ini dibuat saya masih belum mendapat informasi di mana keluarga Ny Neni, paling tidak nomor telepon yang bisa dilacak).

Sri Retno

Pada dekade bersamaan, ada sebuah perusahaan batik yang dikelola orang pribumi Jawa di daerah Jatingaleh Semarang. Namanya Sri Retno yang dikelola oleh Oentoeng Suwardi dan istrinya Tamsiyati. Selama berdiri dari 1973 hingga 1982, nama perusahaan ini cukup penting bagi industri batik di Semarang. Sama seperti yang sudah-sudah, pasarnya meliputi kalangan pejabat, pelancong, dan tamu-tamu asing yang punya urusan dengan pemerintahan Provinsi Jawa Tengah.
Nilai penting batik Sri Retno ini bertumpu pada beberapa kreasi yang memadukan gaya Batik pesisiran dengan keraton seperti yang dilakukan “Batikkerij Tan Kong Tien”. Batik pesisiran yang dimaksud dalam hal ini adalah pola-pola desain batik Pekalongan yang punya citra tersendiri. Ini wajar mengingat keluarga pemilik perusahaan batik Sri Retno berasal dari Batang, sebuah kabupaten yang berada di sebelah timur Pekalongan.
Yang pantas dicatat pada Sri Retno adalah inovasi yang dilakukannya dalam hal motif. Karena bertempat produksi di Semarang, jejak-jejak kekhasan kota tersebut juga menjadi sumber eksplorasi penciptaan motif batiknya. Dalam hal ini, Sri Retno telah berani menciptakan motif yang tak belum dijumpai dalam kreasi batik yang diproduksi di Semarang.
Motif yang dimaksud adalah motif yang langsung merujuk pada landmark kota Semarang seperti motif Tugu Muda (monumen pengingat kisah Pertempuran Lima Hari di Semarang), Jembatan Mberok (sebuah jembatan legendaris di sekitar Pasar Johar), dan Pasar Ya’ik (nama pasar legendaris).
Sayang sekali, perusahaan yang sebenarnya telah punya pasar dan populer sebagai pencipta batik Semarangan itu beroperasi tak sampai satu dekade. Titin Woromurtini, salah seorang putri Oentoeng Suwardi berobsesi bisa menghidupkan kembali Sri Retno. Dia yang sehari-hari menjadi dosen Arsitektur Undip itu pun masih tetap membatik, tapi untuk kepentingan sendiri.

Batik Semarang 16

Setelah sekian lama vakum, mulai tahun 2005, muncul nama Umi S Adi Susilo yang aktif menghidupkan kembali aktivitas perbatikan. Selain banyak mengadakan pelatihan batik, dia juga membentuk perusahaan kerajinan batik yang sekarang dikenal dengan nama Batik Semarang 16. Yang sangat menarik, perusahan kerajinan batik ini menciptakan banyak motif khas Semarang. Eksplorasi penciptaan motifnya nya tak semata pada landmark Kota Semarang, tapi pada elemen-elemen dekoratif banyak bangunan tua di kota tersebut.
Satu catatan penting untuk Batik Semarang 16, ia adalah contoh kreativitas aneka kriya yang sangat peduli terhadap lingkungan. Makanya dalam berkreasi, perusahan kerajinan batik tersebut menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dengan warna-warna alam (natural dyes) dalam proses pembatikannya.
Pelbagai motif telah dihasilkan Batik Semarang 16, terutama motif-motif baru yang berhubungan dengan landmark Kota Semarang seperti Tugu Muda Kekiteran Sulur, Lawang Sewu, Asem Arang, Blekok Srondol, dan banyak lagi. Beberapa motifnya bahkan telah dipatenkan di Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Mari Bersatu Kata…

Jejak-jejak aktivitas perbatikan di Semarang sudah disebutkan. Itu artinya, kota tersebut punya tradisi batik. Ini hal penting untuk memberi keyakinan pada para pecinta batik bahwa pasti ada pola tertentu yang mencirikan batik Semarangan.
Tapi itu bukan pekerjaan gampang. Sebagai entitas budaya, pencarian pola khas suatu batik butuh penelitian yang panjang dan holistik. Pencarian identitas batik Semarang ini sangat berkaitan dengan sejarah kota dan kebudayaan masyarakatnya. Menurut saya, dalam prosesnya patut dilibatkan banyak pihak. Sebut saja, Pemkot atau semua stakeholder Kota, para peneliti (sejarawan, budayawan, sosiolog), atau siapa pun yang concern pada batik. Bahkan, kalau perlu penelusuran ke beberapa museum batik perlu dilakukan seperti di Trompenmuseum Amsterdam, Los Angeles County Museum, atau National Museum of Singapore.
Sembari menunggu hasil dari penelusuran batik Semarangan, proses pembatikan di Kota Semarang yang kini aktif dilakukan di Kampung Batik, pelatihan di Marabunta, atau juga di beberapa workshop batik lainnya tidak boleh diabaikan. Penciptaan motif-motif baru sangat perlu terus dimunculkan. Aktivitas, baik pelatihan, produksi, maupun distribusinya juga seyogianya berjalan lempang. Singkatnya, kegairahan terhadap batik yang sudah tumbuh ada baiknya tak ‘’terbebani’’ oleh perdebatan seputar pola khas batik Semarangan.
Dengan kata lain, penelitian dan produksi seyogianya berjalan beriringan.

Usulan Pencarian Identitas Batik Semarangan

1. Mencermati pola-pola kain cindai (patola) dan chintz dari India. Pola itu pernah sangat disukai, khususnya kalangan Belanda dan orang-orang kaya. Alasan lain: Osterom dan Franquemont dan beberapa pembatik pesisiran pernah mengadopsi patola dan chintz dalam kreasi batik mereka.
2. Mencermati pula pola Panastroman yang dipengaruhi pola batik keraton ketika Osterom sudah berproduksi di Banyumas.
3. Jangan lupakan pola batik keraton. Sebab, tak termungkiri pola dan ragam hiasnya banyak memengaruhi batik-batik di luar keraton seperti batik sudagaran, batik petani, juga batik Belanda dan China. Franquemont pada awal kreasinya juga menyukai warna soga keraton. Selain itu, keberadaan Semarang sebagai kota pelabuhan, sebagai tempat transit batik-batik dari pedalaman mungkin sekali mengadopsi pola-pola keraton dengan tafsir pesisiran atau gaya Eropa. Ada pula kecenderungan orang-orang di Semarang memakai jenis batik berpola keraton. Konon orang kaya Semarang seperti Tasrifin pun memakai batik kawung. Jadi, jejak pengaruh itu bisa dicari,
4. Mencemati pula pengaruh Laseman dan Dermayon. Khusus untuk Dermayon yang karakteristiknya mirip Laseman, polanya banyak yang mengangkat tema bahari. Semarang yang sebagian bertradisi bahari sangat mungkin pula mengangkat tema-tema tersebut dalam pola batiknya.
5. Jangan lupakan pula pola-pola batik daerah sekitar seperti Demak, Kendal, atau Kudus. Kedekatan geografis sangat memungkinkan proses pengaruh-memengaruhi. Khusus untuk batik Kudus, corak warna khasnya yang biru muda juga patut ditelusur mengingat pada awal-awal kreasinya Osterom dan Franquemont menyukai biru keraton yang dibuat lebih muda di samping warna soga.

Kalau ternyata tak ada batik Semarangan?
1. Ya, buat saja batik berpola baru atau kontemporer. Fenomena ini bukan hal baru, sebab dalam sejarah panjang batik, para pembatik selalu bisa melakukan inovasi. Contohnya, ketika muncul larangan pola tertentu dari Sultan Agung, para saudagar batik di luar keraton membikin batik sudagaran dari pola-pola terlarang itu dengan sedikit perubahan. Begitu juga ketika zaman Jepang, muncul batik Djawa Hokokai dengan kain pagi-sore yang notabene reaksi atas situasi ketika itu. Tentu saja pola-pola yang telah ada masih berpengaruh, tapi secara umum kreasinya benar-benar baru. Sabtu (21 Juli 2007), di Pekalongan pada acara ‘’Bincang Batik Kontemporer’’. Narasumber yang ada, juga Iwan Tirta yang jadi keynote speaker memberi saran untuk terus mengembangkan batik kontemporer. Dia bahkan membawa contoh kreasinya yang disebut kain empat negeri (dibuat di Jakarta, berpola Yogyakarta, isen-isen latarnya Surakarta, dan dicelup di Pekalongan.)
2. Bisa pula bikin pola batik baru yang mengangkat khazanah kota, baik berupa sejarah, mitos, atau folklor. Misalnya kisah Ki Ageng Pandanaran (seperti pernah dibuat Neni Asmarayani), atau pertempuran lima hari di Semarang (Yudha semarangan oleh Batik Semarang 16 atau Tugu Muda Sri Retno ), atau mungkin kisah-kisah yang lain. Kalau dulu Franquemont yang memang orang Eropa membuat batik dengan pola dongeng Hanzel dan Gretel, kenapa kita tidak bikin saja misalnya legenda Jati yang Ngaleh, atau apapun.
3. Kalau mau kisah yang kontemporer, bikin saja misalnya kisah tokoh kekinian Semarang dengan nama Banjaran X atau Banjaran Y. Kalau saya tokoh hebat di sini, ya bikin saja Banjaran Saroni Asikin.

Di luar ‘’diskusi berlarut-larut’’ mengenai ‘’yang manakah batik Semarang’’, debat kusir yang kalau pinjam istilah anak saya ‘’CAPEK DECH” , saya ingin mengajak Anda semua untuk bersatu kata dalam penyebutan istilah. Analoginya kalau batik yang diproduksi di Lasem disebut Batik Lasem atau di Pekalongan dengan sebutan Batik Pekalongan, maka sangat mungkin bisa berterima bila batik yang diproduksi di Semarang disebut Batik Semarang. Di sini, faktor loka perbatikan bisa diikuti pelabelannya. Maksudnya, batik yang diproduksi di Kota Semarang, sebut saja Batik Semarang.
Syukur dalam waktu yang tak lama, kita sudah sama-sama mendapat simpulan mengenai seperti apakah yang disebut batik Semarangan.

Semarang, 24 Juli 2007

RUJUKAN

Dullah, H Santosa. Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Danar Hadi: Solo, 2002.
Lin, Lee Chor. Batik: Creating and Identity. National Museum of Singapore: Singapura, 2007.
Maxwell, Robyn. Textiles of Southest Asia: Tradition, Trade, and Transformation. Australian National Gallery: Australia, 2003.
Roojen, Pepin van. Batik Design. The Pepin Press: Amsterdam-Singapura, 2001.
Smend, Rudolf G et al. The Rudolf G. Smend Collection: Batik 75 Selected Masterpieces. Galerie Smend: Koln, 2006.
Tulisan di Media Massa tahun 1970-1980 dan tulisan Dr Dewi Yuliati di Seputar Semarang (2006)


* Saroni Asikin, Pecinta Batik dan Wartawan Suara Merdeka. Tulisan ini disampaikan dalam Seminar dan Launching Pengembangan dan pelestarian Batik Semarang, di Hotel Pandanaran Semarang, 24 Juli 2007

Tidak ada komentar: