Hidup Wadat dan Bersunyi-sunyi di Rawaseneng
KEDATANGAN ke Pertapaan Rawaseneng buat saya adalah wisata spiritual paling mengharu-biru. Tempat yang saya tuju bukanlah makam untuk berziarah dan berkhalwat. Pun tak ada cerukan gua, atau ruang khusus bersamadi dan bertapa meskipun tempat itu disebut sebagai pertapaan.
Keterharu-biruan itu barangkali karena saya menjumpai orang-orang, tepatnya para lelaki yang begitu teguh menggenggam keyakinan mereka hingga begitu rela hidup bersunyi-sunyi, hidup wadat atau selibat (tak menikah-red) dan bersahabat kesepian. Para lelaki yang hidup untuk Tuhan dalam untaian doa, dalam lantunan madah dan mazmur.
Mereka itu para lelaki yang asyik-masyuk mengagungkan nama Tuhan dalam sebuah kapel yang hening dan tak henti-henti mendengungkan gregorian ke langit Rawaseneng, Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung yang sejuk, sesekali berkabut. Ya, puja-puji itu seolah-olah mampu menembus dinding beku kapel, bersipongan dengan kertap dedaunan kopi, lenguh sapi peternakan, menjauh dan menyelubungi pepohonan pinus di sekitar situ.
Sebelum datang, saya pun membayangkan sebuah pertapaan dalam sebuah gua yang dipenuhi ornamen gerejawi seperti Yesus Kristus dalam salib, patung Bunda Maria, dan palung semen tempat air suci. Ketika mencoba mencari tahu pada sopir yang saya carter dari Sumowono, Ambarawa, dia tak apa-apa.
''Rawaseneng yang untuk mancing itu?'' tanya dia. Ketika saya katakan tempat itu sebuah biara, dia menangkapnya sebagai vihara (tempat ibadah Buddha) yang memang terdapat di pinggir lintasan laju mobil kami. Syukurlah, setidaknya dia tahu jalur menuju desa Rawaseneng. Jalan yang penuh kelokan dengan kanan-kiri penuh tanaman jagung dan jahe. Kata dia, di sepanjang lintasan itu, kedua tanaman itu memang mata pencaharian penduduk.
Setelah melewati jalanan yang kanan-kirinya penuh pohon pinus, pada sebuah pertigaan tempat pemberangkatan Angkutan Pedesaan (angkudes) jurusan Temanggung-Rawaseneng, kami berhenti. Oh ya, angkudes itu juga alat transportasi dari terminal Temanggung ke lokasi wisata spiritual tersebut. Jarak tempuhnya sekitar 14 kilometer.
***
SAYA tiba di pertapaan berordo Trappist itu tepat pukul 12.00 lewat beberapa menit. Itu bukan saat yang tepat bagi sebuah visitasi atau rekoleksi (kunjungan sesaat). Itu saat para rahib melakukan Ibadat Siang II di kapel. Tak ada seorang pun saya jumpai. Dari luar saya mendengar dengungan madah dan mazmur dari dalam kapel. Seorang lelaki muncul dan menuju ruang penerimaan tamu. Saya katakan pada Suyatno, nama lelaki itu, ingin menemui Kepala Biara. ''Oh, Abas Kepala, Pater Frans sedang berdoa. Ini jam Ibadat Siang. Tunggulah!''
Abas yang disebutkan maksudnya Kepala Biara. Namanya Frans Harjawiyata OCSO. gelaran itu merujuk pada ordo Katholik yang dipegang di biara itu, yaitu Ordo Cisterciensis Strictoris Observantiae (Ordo Cistersiensi Observansi Ketat) yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Ordo Trappist.
Sembari menunggu para rahib usai berdoa di kapel, saya bertanya padanya catatan atau buku mengenai sejarah Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Dia mengunjukkan sebuah buku dari deretan buku rohani di etalase. Karena itu dijual, saya membelinya. Judulnya ''Berziarah Setengah Abad'' tulisan Pater Frans. Itu buku peringatan 50 tahun (1953-2003) biara tersebut.
Isinya lengkap mengenai perjalanan panjang pertapaan itu. Suyatno juga memberikan sebuah buku tipis berjudul ''Rawaseneng: The Call to the Trappist Life''. Dari buku tipis itu, saya tahu secara singkat perihal pendirian Pertapaan Rawaseneng, sejarah Ordo Trappist beserta catatan mengenai Santo Benediktus yang memelopori ordo tersebut, serta perikehidupan para rahib di situ.
Sebelum menjadi biara, tulis buku itu, di situ berdiri sekolah pertanian asuhan Bruder Budi Mulia. Clash fisik tentara Republik dengan Belanda pada tahun 1948, menghancurleburkan bangunan itu. Tahun 1950, Pater Bavo van der Ham, rahib Trappist dari Tilburg, Belanda datang ke situ dan memelopori pendirian biara berordo Trappist di situ. Tanggal 1 April 1953, resmi berdiri biara dengan nama Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng yang lalu lebih terkenal dengan sebutan pertapaan Rawaseneng.
Seiring waktu, biara itu mulai diminati dan banyak yang bergabung sebagai rahib. Alhasil, 26 Desember 1958, biara itu menjadi otonom dengan status keprioran. 23 April 1978 statusnya meningkat lagi menjadi keabasan. Sejak itu pulalah Pater Frans diangkat menjadi Abas.
Perkembangan berikutnya, biara Rawaseneng mendirikan biara serupa di Flores tahun 1996 setelah sebelumnya mendirikan biara Trappistin (untuk biarawati) di Gedono, Salatiga tahun 1987.
Abas yang disebutkan maksudnya Kepala Biara. Namanya Frans Harjawiyata OCSO. gelaran itu merujuk pada ordo Katholik yang dipegang di biara itu, yaitu Ordo Cisterciensis Strictoris Observantiae (Ordo Cistersiensi Observansi Ketat) yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Ordo Trappist.
Sembari menunggu para rahib usai berdoa di kapel, saya bertanya padanya catatan atau buku mengenai sejarah Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Dia mengunjukkan sebuah buku dari deretan buku rohani di etalase. Karena itu dijual, saya membelinya. Judulnya ''Berziarah Setengah Abad'' tulisan Pater Frans. Itu buku peringatan 50 tahun (1953-2003) biara tersebut.
Isinya lengkap mengenai perjalanan panjang pertapaan itu. Suyatno juga memberikan sebuah buku tipis berjudul ''Rawaseneng: The Call to the Trappist Life''. Dari buku tipis itu, saya tahu secara singkat perihal pendirian Pertapaan Rawaseneng, sejarah Ordo Trappist beserta catatan mengenai Santo Benediktus yang memelopori ordo tersebut, serta perikehidupan para rahib di situ.
Sebelum menjadi biara, tulis buku itu, di situ berdiri sekolah pertanian asuhan Bruder Budi Mulia. Clash fisik tentara Republik dengan Belanda pada tahun 1948, menghancurleburkan bangunan itu. Tahun 1950, Pater Bavo van der Ham, rahib Trappist dari Tilburg, Belanda datang ke situ dan memelopori pendirian biara berordo Trappist di situ. Tanggal 1 April 1953, resmi berdiri biara dengan nama Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng yang lalu lebih terkenal dengan sebutan pertapaan Rawaseneng.
Seiring waktu, biara itu mulai diminati dan banyak yang bergabung sebagai rahib. Alhasil, 26 Desember 1958, biara itu menjadi otonom dengan status keprioran. 23 April 1978 statusnya meningkat lagi menjadi keabasan. Sejak itu pulalah Pater Frans diangkat menjadi Abas.
Perkembangan berikutnya, biara Rawaseneng mendirikan biara serupa di Flores tahun 1996 setelah sebelumnya mendirikan biara Trappistin (untuk biarawati) di Gedono, Salatiga tahun 1987.
***
USAI Ibadat Siang, Pater Frans menemui saya di Kamar Bicara. Kalau lihat jadwal semestinya saat itu waktu istirahat dia dan para rahib. ''Tak apa-apa. Ini kan juga bagian kerja pastoral (kegiatan pelayanan-Red),'' katanya.
Dia ramah. Usianya 72 tahun dan sudah 43 tahun mendiami Pertapaan Rawaseneng. Tak begitu lama perbincangan kami. Secara singkat dia menjelaskan rutinitas kehidupan para rahib di situ seperti yang saya tanyakan.
''Berdoa dan bekerja. Anda bisa lihat pada jadwal sehari-hari para rahib. Semua serbaterjadwal. Makanya, dengan keketatan hidup serupa itu, banyak yang tak kuat. Perbandingan yang kuat dan tak kuat hidup di biara biasa 20-80.''
Itu mencengangkan. ''Tapi kami bukan komunitas ekslusif, lho. Kami juga berbaur dengan masyarakat. Tapi dalam arti untuk urusan-urusan sosial belaka. Kami ini membuka peternakan dan pemerahan susu sapi dan perkebunan kopi. Penduduk membeli dari kami dan rata-rata yang bekerja juga mereka. Itu wujud sosialisasi.''
Saya tanyakan pula perihal citra ordo Trappist yang terkenal keras, seperti misalnya berdoa sambil menyakiti diri-sendiri. ''Ah, itu mitos. Keras dalam arti hidup dalam biara, terjadwal, tak bebas ke mana-mana, ya. Tapi itu pilihan menjadi rahib, bukan? Wajar pula memang banyak yang tak kuat.''
Usai perbincangan singkat, saya meminta izin untuk berkeliling biara: melihat sapi-sapi yang diternakkan, perkebunan kopi, atau pembuatan kue yang jadi aktivitas sehari-hari para rahib selain berdoa.
''Sayangnya ini jam istirahat. Nantilah seusai Ibadat Sore. Mungkin Frater Theo bisa memandu Anda.''
Saya memang harus patuh pula pada jadwal ketat di biara itu. Ibadat Sore baru dimulai pukul 14.30. Syukurlah, pada ibadat itu saya diizinkan masuk ke ruang kapel dan memotret aktivitas para rahib.
Pukul 14.15, lonceng di dalam kapel dibunyikan oleh seorang frater (sebutan untuk rahib). Saya masuk ke kapel. saat itu petugas pembunyi lonceng Frater Amadeus. Dia masih berstatus novis (tahapan hidup membiara usai menjalani masa postulat atau percobaan).
Tak beberapa lama para ''frater'' berdatangan dan segera menempati kabin doa masing-masing yang berada dalam dua sayap kapel. Agak terpisah dari pada sisi kanan altar, seorang frater yang bertugas memainkan piano sudah berada di tempatnya. Beberapa tamu yang datang untuk retret (menginap dan beraktivitas di situ minimal tiga hari-Red) atau yang hanya melakukan rekoleksi, masuk kapel dan menempati bangku terpisah di belakang kapel. Mereka akan ikut berdoa. Soal tamu, Pertapaan Rawaseneng memang telah cukup mengharu-biru mereka untuk sekadar mampir atau bahkan tinggal berhari-hari di situ. Tak jarang, yang datang berupa rombongan keluarga, lengkap dengan anak-anak mereka.
Maka, di kapel itu segera mendengunglah koor madah puji-pujian. Syahdu, kadangkala senyap. Adakalanya seseorang melantunkan doa sendiri dan dibalas oleh gaung doa bersama. Setengah jam doa dalam Madah Zakaria, Madah Simeon, disusul Te Deum dan berakhir usai Antheum Maria. Semuanya dilantunkan dalam nada gregorian yang syahdu dan seolah-olah selalu penuh kesedihan.
Begitu selesai, para rahib itu segera memasuki kamar mereka masing-masing. Saat itu, saya berpikir betapa hidup mereka seolah-olah terbingkai pada satu kamar sempit yang menjadi tempat pertapaan, ruang kapel dan ruang tempat mereka berkarya. Dari hari ke hari, bertahun-tahun, bahkan ada yang menjalaninya selama lebih dari 30 tahun. Hidup yang mau tak mau membuat saya seolah-olah tak mengerti tapi di sisi sebaliknya saya mengagumi keteguhan mereka.
Usai aktivitas di kapel, Frater Theodorus menjumpai saya dan berkehendak memandu saya berkeliling biara. Saya terkejut dan agak pangling. Di kapel tadi dia bersama para rahib memakai jubah putih dengan skapulir hitam, khas para rahib Katholik. Saat itu dia mengenakan baju yang mirip jaket dengan kap (topi kain yang bersambungan dengan baju). Apalagi dia mengenakan kacamata hitam. Kalau tak melihat ciri kap pada pakaian yang dikenakannya, dia tak lebih seperti lelaki muda di luar biara.
''Lho boleh berbaju bebas toh, Frater?'' tanya saya. Dia tersenyum dan sembari menyetarter sepeda motor dan memboncengkan saya, dia menjawab, ''Oh boleh, tapi tetap dengan ciri kap ini.''
Kami menuju tempat penimbangan kopi yang baru dipanen dariperkebunan milik biara. Kata Pater Frans, kopi biasanya hanya sekali panen setahun. Di tempat itu, banyak aktivitas: menimbang kopi, mengeruk kopi dan membawa ke tempat pencucian, membersihkan kopi yang bergetah sebelum memasukkannya ke mesin penggiling.
Dari situ kami menuju tempat pembuatan kue. ''Itu oven kami. Besar. Pembuatan kue ini salah satu aktivitas para frater dipagi dan sore hari,'' ujar Frater Theo.
Seseorang sedang mengepak kue. Kue-kue itu ditaruh di etalase dan tamu atau penduduk biasanya membeli dari situ. ''Anda coba bikinan kami. Enak, lo.''
Saya mencoba kue yang disodorkannya. Biskuit coklat yang enak. lalu kami menuju peternakan. Ada lebih dari 100 sapi dimiliki biara. Setiap hari, sekitar 60-70 ekor diperas susunya.
''Penduduk membeli dari kami. Tapi banyak yang kami distribusikan hingga ke Semarang.''
Susu di situ katanya memang lain. Paling tidak itu menurut Pak Adrianto dari Klaten yang secara berkala menyengaja ulang-alik hanya untuk beli susu di situ.
Senja sudah mulai bergerak turun ketika saya ikut mobil Pak Adrianto menuju Secang lewat Temanggung. Di dalam mobil, lelaki tua itu berkata, ''Hebat ya para frater yang rela memilih hidup di situ. Padahal banyak yang muda, lo.''
Ketika itu benak saya terbayang Frater Theo yang sudah 14 tahun di situ dan baru berusia 34 tahun. Satu orang lagi yang sempat saya tahu namanya, Frater Amadeus, juga masih muda.
Saya menyambung, ''Hebatnya lagi mereka mau hidup wadat (tak menikah).''
Pak Adrianto tertawa dan berkata, ''Kalau saya semuda mereka, wah sulit kalau meninggalkan yang satu itu. Tapi sudah pilihan mereka, kok.''
Ya! Sudah pilihan mereka. Itu juga perkataan Frater Theo ketika memandu saya, ''Manusia itu makhluk dengan rasio. Binatang tak punya. Kalau binatang terdesak kebutuhan biologis, mereka langsung saja tanpa berpikir. Tapi manusia mampu mengendalikan kebutuhan biologisnya dengan pikirannya.''
Saya tahu itu pilihannya, juga para frater lainnya. Hidup wadat, bersunyi-sunyi, amboi....(*)
Sehari dalam Kehidupan Para Rahib
MENJADI rahib adalah pilihan seseorang. Menjadi rahib juga dimaknakan sebagai panggilan Tuhan untuk melulu hidup demi Dia dalam kesunyian. Panggilan hidup dalam rupa doa. Ya! Kesunyian dan doa, juga kehidupan wadat atau selibat.
Serupa itu pula kehidupan para rahib Ordo Trappist di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Menurut Pater Frans, ada sekitar 30 orang. Tambahan dari Frater Theodorus, dari jumlah itu masih ada yang berstatus postulat dan novis.
''Cirinya pada jubah yang dikenakan. Frater juga Pater memakai jubah putih berskapulir hitam. Novis jubah putih dengan kap. Postulat serupa novis hanya saja ada sejenis pakaian diagonal di atas dadanya berwarna putih.''
Dia lalu menunjukkan gambar Santo Benediktus yang berjubah hitam-tebal. ''Walau yang kami acu orang suci itu, baik ajaran maupun cara berpakaiannya, tetapi bahan dan warnanya boleh berbeda.''
Di kalangan para rahib pada Pertapaan Rawaseneng, hidup bukanlah sesuatu yang sederhana dan waktu tak bisa untuk bermain-main. Kehidupan mereka terjadwal secara ketat. Porsi untuk berdoa pun sangat besar. Lihat misalnya, bagaimana dalam satu putaran hari, ada tujuh kali ibadah dilangsungkan. Bayangkan, sehari dengan tujuh kali berdoa dalam cara yang sama! Dan itu berlangsung setiap hari.
Hidup para rahib bermula pada pukul 03.15. Mereka bangun dari tidur secara serentak dipandu oleh lonceng yang berbunyi dari dalam kapel. Seperempat jam berikutnya, para rahib itu sudah suntuk dalam doa pada Ibadat Bacaan (vigil) disambung dengan meditasi di dalam kapel.
Mulai pukul 04.45, para rahib membaca buku-buku rohani. Program rutinnya disebut Lectio Divina.
''Kalau dulu para rahib hanya baca kitab suci, kini bacaan itu lebih banyak lagi. Sekarang kan banyak buku rohani yang bagus,'' ujar Frater Theodorus.
Usai aktivitas itu, ada Ibadat Pagi pada pukul 06.00 yang dilanjutkan dengan sarapan pagi, dan waktu senggang sejenak. Waktu senggang tersebut dapat dimanfaatkan oleh rahib untuk melakukan keperluan pribadi, sebatas masih dalam kompleks biara.
Pukul 08.00, para rahib masih harus kembali ke kapel untuk Ibadat Siang I. Hanya 15 menit doa itu dan dilanjutkan waktu bagi mereka untuk bekerja yang berakhir pukul 11.30. Usai kerja itu, para rahib bersiap-siap untuk melakukan Ibadat Siang II pada pukul 12.00. Hanya seperempat jam ditambah lima menit pemeriksaan batin (semacam meditasi singkat) sebelum mereka bersama-sama menuju Ruang Makan dan makan siang bersama dan istirahat siang.
Pada saat istirahat itu, para rahib melakukan siesta atau tidur siang yang berakhir ketika lonceng dibunyikan seorang frater pada pukul 14.15 sebagai persiapan Ibadat Sore (vesper) selama setengah jam (14.30-15.00). Setelah itu, para rahib kembali bekerja hingga pukul 16.30 disambung Lectio Divina pukul 16.45.
Perayaan Ekaristi (Holy Mass) atau Misa Agung harian dilangsungkan pukul 17.30 hingga 19.50 dengan pembacaan Peraturan Santo Benediktus di Ruang Kapitel. Peraturan tersebut bersifat wajib bagi semua ordo yang mengikuti jejak orang suci itu.
Seluruh aktivitas para rahib dalam sehari itu ditutup dengan Ibadat Penutup (compline) yang berakhir pukul 20.15. Setelah itu, para rahib masuk ke kamar masing-masing untuk tidur dan menyongsong aktivitas serupa di hari berikutnya.
Selalu berulang begitu setiap hari. Itu untuk hari-hari kerja biasa. Untuk hari Minggu atau Hari Raya, secara spesifik tak ada yang berubah, selain Pertemuan Komunitas atau bertemunya seluruh anggota biara seusai Ibadat Pagi.
Dan Anda bisa membayangkan suatu kehidupan yang bergulir dengan hal yang sama setiap harinya.
''Ini sudah jadi pilihan saya. Dan saya menjalaninya dengan bahagia,'' kata Frater Theodorus. Mungkin saja memang dia menyuarakan suara kawan-kawan sebiaranya. (*)
Serupa itu pula kehidupan para rahib Ordo Trappist di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Menurut Pater Frans, ada sekitar 30 orang. Tambahan dari Frater Theodorus, dari jumlah itu masih ada yang berstatus postulat dan novis.
''Cirinya pada jubah yang dikenakan. Frater juga Pater memakai jubah putih berskapulir hitam. Novis jubah putih dengan kap. Postulat serupa novis hanya saja ada sejenis pakaian diagonal di atas dadanya berwarna putih.''
Dia lalu menunjukkan gambar Santo Benediktus yang berjubah hitam-tebal. ''Walau yang kami acu orang suci itu, baik ajaran maupun cara berpakaiannya, tetapi bahan dan warnanya boleh berbeda.''
Di kalangan para rahib pada Pertapaan Rawaseneng, hidup bukanlah sesuatu yang sederhana dan waktu tak bisa untuk bermain-main. Kehidupan mereka terjadwal secara ketat. Porsi untuk berdoa pun sangat besar. Lihat misalnya, bagaimana dalam satu putaran hari, ada tujuh kali ibadah dilangsungkan. Bayangkan, sehari dengan tujuh kali berdoa dalam cara yang sama! Dan itu berlangsung setiap hari.
Hidup para rahib bermula pada pukul 03.15. Mereka bangun dari tidur secara serentak dipandu oleh lonceng yang berbunyi dari dalam kapel. Seperempat jam berikutnya, para rahib itu sudah suntuk dalam doa pada Ibadat Bacaan (vigil) disambung dengan meditasi di dalam kapel.
Mulai pukul 04.45, para rahib membaca buku-buku rohani. Program rutinnya disebut Lectio Divina.
''Kalau dulu para rahib hanya baca kitab suci, kini bacaan itu lebih banyak lagi. Sekarang kan banyak buku rohani yang bagus,'' ujar Frater Theodorus.
Usai aktivitas itu, ada Ibadat Pagi pada pukul 06.00 yang dilanjutkan dengan sarapan pagi, dan waktu senggang sejenak. Waktu senggang tersebut dapat dimanfaatkan oleh rahib untuk melakukan keperluan pribadi, sebatas masih dalam kompleks biara.
Pukul 08.00, para rahib masih harus kembali ke kapel untuk Ibadat Siang I. Hanya 15 menit doa itu dan dilanjutkan waktu bagi mereka untuk bekerja yang berakhir pukul 11.30. Usai kerja itu, para rahib bersiap-siap untuk melakukan Ibadat Siang II pada pukul 12.00. Hanya seperempat jam ditambah lima menit pemeriksaan batin (semacam meditasi singkat) sebelum mereka bersama-sama menuju Ruang Makan dan makan siang bersama dan istirahat siang.
Pada saat istirahat itu, para rahib melakukan siesta atau tidur siang yang berakhir ketika lonceng dibunyikan seorang frater pada pukul 14.15 sebagai persiapan Ibadat Sore (vesper) selama setengah jam (14.30-15.00). Setelah itu, para rahib kembali bekerja hingga pukul 16.30 disambung Lectio Divina pukul 16.45.
Perayaan Ekaristi (Holy Mass) atau Misa Agung harian dilangsungkan pukul 17.30 hingga 19.50 dengan pembacaan Peraturan Santo Benediktus di Ruang Kapitel. Peraturan tersebut bersifat wajib bagi semua ordo yang mengikuti jejak orang suci itu.
Seluruh aktivitas para rahib dalam sehari itu ditutup dengan Ibadat Penutup (compline) yang berakhir pukul 20.15. Setelah itu, para rahib masuk ke kamar masing-masing untuk tidur dan menyongsong aktivitas serupa di hari berikutnya.
Selalu berulang begitu setiap hari. Itu untuk hari-hari kerja biasa. Untuk hari Minggu atau Hari Raya, secara spesifik tak ada yang berubah, selain Pertemuan Komunitas atau bertemunya seluruh anggota biara seusai Ibadat Pagi.
Dan Anda bisa membayangkan suatu kehidupan yang bergulir dengan hal yang sama setiap harinya.
''Ini sudah jadi pilihan saya. Dan saya menjalaninya dengan bahagia,'' kata Frater Theodorus. Mungkin saja memang dia menyuarakan suara kawan-kawan sebiaranya. (*)
g Saroni Asikin
(Suara Merdeka, Jalan-jalan, Minggu 6 Agustus 2003)